Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, THB telah lewat sepekan yang lalu, masa pembelajaran empat bulan telah terlewat. Nimas duduk di bangkunya dengan mimik pucat. Di bawah dia memainkan jari-jari kecilnya. Tidak seperti teman-teman yang lain, gadis pemilik lesung pipi ini begitu gelisah. Beberapa kali ia kedapatan mencuri pandang ke pintu kelas.
Sedangkan berjarak tiga meja dari gadis itu, Vino sedang mendapat berbagai pujian dari teman-temannya, sudah terduga sebelumnya bahwa anak pendiam dan kalem ini akan mendapat rangking satu dikelasnya sekaligus peringkat kelima seangkatan, sungguh pencapaian yang luar biasa. Bocah ini hanya mengulum senyum bahagia, dia hanya menunggu orang tuanya yang masih punya urusan dengan para guru.
Nimas menghela napas pelan, sebenarnya dia sama sekali tidak ada minat untuk bergabung. Dari bangkunya, gadis imut ini menatap penuh iri kepada Vino. Tidak, Nimas tidak iri karena Vino mendapat rangking namun gadis ini hanya cemburu melihat betapa orang tuanya begitu memuji Vino beberapa waktu lalu saat para juara kelas diumumkan diruang auditorium.
Nimas memutar kepala, menjelajahi setiap inci ruang kelasnya. Sial, ternyata hanya dia yang menyendiri. Dengan berat hati Nimas bangkit dan mulai bergabung dengan yang lain. Ikut memberi selamat kepada sang juara satu.
Dua bocah berbeda jenis ini akhirnya saling salam-salaman. Ini kali kesekian sejak kejadian waktu itu, Nimas melihat senyum merekah dari bibir Vino. Senyum yang jarang anak laki-laki itu tampilkan. Jika biasanya senyum seorang yang jarang dipertontonkan akan terlihat sangat indah, hal itu sepertinya juga berlaku pada Vino. Namun patut diakui dua tuas yang ditarik itu masih kalah manis dengan kepunyaan Nimas.
Baru tiga orang yang mengetahui nilai akumulasi selama empat bulan pembelajaran. Masih tersisa 34 murid yang belum mengetahui nilai dan peringkat masing- masing. Mereka semua harap-harap cemas menanti orang tua yang sedang berkutat bersama wali muridnya. Namun, tetap yang paling terlihat gundah adalah Nimas Adisty.
"Nimas, kanapa?" Angel mendekat. Gadis yang suka menempeli tubuhnya dengan plester luka bergambar ini, katanya supaya mirip dengan Sherina. Angel merangkul pundak Nimas. Gadis ini pandai berbasa-basi, sebenarnya Angel tahu alasan Nimas gelisah bahkan telah menjadi rahasia umum dikelas 1A. Gadis berlesung pipi ini pasti sedang memikirkan nilainya yang rendah.
"Ngga kok, aku ngga papa." Nimas menjauh, melepas rangkulan Angel. Sungguh ia tidak nyaman diperlakukan begitu. Lantas ia kembali ke bangkunya.
"Palingan si Nimas lagi mikirin nilai ulangannya yang anjlok," celetuk bocah bermanik besar itu, dia tegap menghadap punggung Nimas.
Sontak semua perhatian tertuju pada Anka yang memasang mimik kalem, dia mengangkat satu alisnya serta bersedekap dada.
"Anka, jangan mulai lagi!" Angel, gadis yang dijuluki plester berjalan itu mendekat pada sosok anak laki-laki yang barusan mengeluarkan kata-kata sarkasme. Sungguh, Angel tidak pernah suka sikap Anka satu ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
AcciónDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...