6. Manusia Langka.

87 26 18
                                    

"Coba kamu tebak ada berapa kelopak bunga Matahari di foto itu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Coba kamu tebak ada berapa kelopak bunga Matahari di foto itu?"

Aku sudah berada di ruang kepala sekolah, duduk dengan Pak Abdi di sebelah kanan dan Pak Ahmad selaku kepala sekolah di depan kami. Sungguh, aku tidak tahu mengapa pria berkacamata itu membawaku ke sini. Dan untuk apa Pak Ahmad menanyakan suatu yang tidak penting? Jari telunjuk pria yang mempunyai jabatan paling tinggi di sekolah tersebut tegak lurus pada sebuah lukisan bunga Matahari lengkap dengan pot cokelatnya, ada tiga tangkai dan aku diminta untuk menebak ada berapa kelopak di sana.

Sebenarnya tebak-menebak jumlah kelopak bunga bukan hal sulit, aku telah mengetahui jawabannya dengan sekali lihat. Tetapi asal kalian tahu, pikiranku masih berkelana dengan pernyataan Pak Abdi beberapa saat lalu. Apa maksudnya? Dia menyebutku kamera bernyawa!

"146 kelopak!" jawabku mantap pertanyaan yang diajukan Pak Ahmad. Namun, aku tidak bisa menyembunyikan gurat kebingungat di antara alis.

"Kapan kamu menghitungnya?" tanya Pak Ahmad lagi.

"Ngga, Dimas cuma lihat aja. Tapi bener kok ada 146 kelopak."

Pak Ahmad lalu berdiri dan mendekati lukisan yang berukuran sedang itu lalu mencopotnya dari dinding meninggalkan warna cat pudar dibekasnya menandakan lukisan itu telah lama tersimpan di sana, lalu Pak Ahmad kembali duduk di depanku dan Pak Abdi.

"Hitung!" perintah Pak Ahmad menyodorkan bingkai lukisan itu pada Pak Abdi.

"S-saya,Pak?" Pak Andi menunjuk diri sendiri. Pak Ahmad mengangguk.

"Iya, kamu. Mana mungkin lah saya."

Aku terkikik kecil. Pak Abdi ragu-ragu mengangkat tangan menerima lukisan yang masih berbingkai kaca itu. Dia lantas mulai menghitung.

"Nah Dimas, kamu bantu Bapak letakkan toples, cangkir, teko dan vas bunga di meja ke sana yah!" Pak Ahmad menunjuk meja di pojok ruangan. Dia meminta aku untuk menyingkirkan semua barang yang ada di meja di depan kami sekarang. Aku menurut saja lagi pula setelah berkata demikian Pak Ahmad mulai bergerak.

Sekarang meja di depan telah bersih. Tidak ada satu barangpun di sana bahkan taplak meja berwarna merah maroon itu ikut disingkirkan. Kami telah kembali duduk di tempat semula.

Aku lihat Pak Ahmad merogoh saku celananya, dia mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak berwarna putih. Hah, itukan kartu remi? Dan masih tersegel. Apa yang akan dia lakukan?

"Ayo kita main judi poker!"

Apa? Aku tidak salah dengar kan? Serentak bola mata ini melebar sempurna tidak hanya itu mulutku mungkin sudah seperti gua. Pak Abdi yang tadi fokus pada lukisan ikut tercengang dia sedikit menurunkan bingkai lukisan dan matanya menatap tajam kepada Pak Ahmad.

Dua detik setelah Pak Ahmad berkata demikian, dia tertawa begitu kencang hingga memegangi perutnya yang buncit, dia terpingkal-pingkal, tangan kanannya sedari tadi menepuk-nepuk paha. Air mata pria setengah abad itu keluar dari tudungnya.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang