17. Putus sekolah.

52 15 0
                                    

"Ibu ... buka mulutnya!" Dia menggeleng lemah. Perih rasanya hati ini, dia termenung dan sama sekali tidak mau melirikku sedetikpun. Mencoba sekali lagi, sendok perak ini ku sodorkan ketepi bibir pucatnya.
Dia menggeleng lagi, sudah setengah jam aku membujuknya makan. Namun, hanya tiga sendok yang berhasil lolos ke kerongkongan. Tulang pipinya tercetak jelas, warna kulitnya putih seakan tidak ada aliran darah, bawah matanya hitam legam dan di sisa-sisa air bah masih menggenang di sana.

Kuletakkan lagi sendok itu ke piring yang ada di pangkuan, hatiku hancur lebur melihatnya tanpa semangat hidup. Ibu menarik tangan kala aku mengusap punggung tangannya. Seperti ada bogem dahsyat yang menyerang. Sakit, marah dan kecewa dalam satu waktu.

"Bu ... jangan giniin Dimas, Bu ...." Sial, air itu kembali luruh. Seakan tidak peduli, Ibu bergeming ditempatnya. Bersandar pada punggung ranjang seraya menatap kosong ke arah dinding.

Tubuhku bergetar hebat, buku tangan telah mengepal di atas paha. Ingin rasanya memaki Ibu, mengapa hanya karena pria tak bertanggung jawab itu, ia sedepresi ini?

Tiba-tiba terdengar suara pintu depan diketok begitu beringas.

Menyeka jejak di pipi lalu menyimpan piring di atas nakas. Aku bangkit dari posisi duduk. Menyentuh pipi kurus itu penuh kasih sayang.

"Bu Dimas keluar sebentar yah. Ibu baik-baik." Tidak ada respon berarti.

"Kate tetangge kemarin Bapak lu itu pulang ye? Die nyikse ibu lu lagi?!" Aku benar-benar terkesiap, baru saja membuka pintu, Mpok Rima berujar sangat lantang. Lantas tanpa permisi langsung mendorong tubuhku ke samping dan masuk begitu saja.

Rima wanita berdarah murni betawi, usianya sudah dipenghujung 40-an tetapi masih ngotot dipanggil mpok, padahal anak perempuannya saja telah berusia lebih 20 tahun dan telah menikah.

Oh iya, kalian pasti bingung mengapa Mpok Rima bertanya demikian. Itu karena memang satu minggu terakhir ia tinggal bersama anaknya yang baru melahirkan dan menetap di Depok, mengikuti suami. Bahkan ia sendiri tidak bisa menghadiri pemakaman Algi tempo hari.

Aku mengekori saja langkah wanita tambun tersebut.

"Dimas, Ibu lu di mane?" Dia berhenti tepat satu meter di depan. Aku yang awal perhatian tidak tertuju padanya hampir saja menubruk tubuh besar itu.

"Kamar."

Masih sama, posisi Ibu tidak berubah berang sedikitpun, bahkan kini kristal bening itu terjun begitu indah, menghiasi pipi pucat nan kurus itu. Ibu menangis tanpa suara. Mpok Rima terperanjat. Ia langsung duduk di tepi ranjang sembari memanggil- manggil nama Ibu.

Tidak digubris, Mpok Rima lantas menggytang-goyangkan tubuh ringkih tersebut. Masih tetap, ibu bergeming. Semakin lama Mpok Rima mengoyang tubuh ibu semakin kencang, ia juga berteriak-teriak tidak karuan untuk menyadarkan wanita didepannya.

Aku terkesiap, tidak percaya mpok Rima, orang yang terkenal akan ketegasan dan kekokohan hati meneteskan air mata. Namun, ibu tetaplah diam. Aku hanya mematung, berdiri dua langkah dari dua wanita berbeda usia tersebut. Tidak terasa bening itu ikut luruh kembali.

"Sri! Sadar lu kagak boleh kayak gini ...." Nada putus asa pertama yang terdengar ditelingaku. Mpok Rima benar-benar mengeluarkan emosinya. Ia tertunduk dengan kedua tangan masih menempel dibahu ibu.

"Mas ... Dullah ...." Aku dan mpok Rima langsung mengalih etensi. Mengapa selalu kata tersebut yang terucap? Segitu cintakah ibu dengan laki-laki itu? Tidak, kini aku merasa ibu telah terobsesi dengannya.

"Sri ... sadar die udah ninggalin lu sama anak lu ...." Mpok Rima semakin terisak, ia kembali menggoyang tubuh ibu. Hanya, sesaat sebelum tubuh ringkih tersebut tenggelam dalam pelukan besar.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang