11. Latihan kok ngamen?

60 20 0
                                    

Panas, gerah, haus, bising, berdebu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Panas, gerah, haus, bising, berdebu. Dion sialan! Katanya mau melatihku bela diri, nyatanya malah aku disuruh mengamen di lampu merah perempatan dekat dengan pasar dan terminal.

Aku dengan ogah-ogahan menghampiri satu kendaraan ke kendaraan lain. Rupanya wajah masamku tertangkap oleh mata Dion, dia dari bahu jalan mengintruksi dengan isyarat agar menyunggingkan senyum. Enak saja! Kamu tahu, di sini panas sekali, terik matahari memerintahkanku untuk memicing dan tanpa sengaja mimik wajah tercetak adalah masam. Jujur, sudah lima hari sejak pertama bertemu dengan remaja urakan itu, setiap hari aku hanya disuruh mengamen menggantikan dia yang bisa leha-leha diwarung kaki lima.

Lampu kembali berpendar hijau. Akhirnya aku bisa kembali ke terotoar.

"Dapet berapa?" Dia bertanya sembari menyeruput es doger yang sudah mulai mencair dengan penuh nikmat. Apa tidak ada kalimat lain yang meluncur dari mulutmu, Dion? Contohnya mau minum apa? Atau, es dogernya , Dimas! Akh .... aku juga mau!

"Bang, es dogernya satu!" Dari pada mengharapkan Dion lebih baik aku inisiatif sendiri memesan minuman. Toh, yang bayar dia juga.

"Nih." Aku menyerahkan kantong bekas makanan ringan kepada Dion. Lantas mengambil tempat di depannya. Dion dengan semangat dan senyum sumringah langsung membongkar isi kantong tersebut, suara recehan saling beradu, menandakan mayoritas pendapatanku adalah uang koin. Meski demikian, senyum lebar tidak pernah pupus dari bibirnya. Kalian tahu, bagi kami sekecil apapun nominal uang, tetap saja berharga.

"Untung aja muka cemberut lo itu imut. Kalau kaga, mana dapat segini. Tapi coba deh muka lo dimanis-manisin dikit. Pasti orang bakal beri jauh lebih banyak dari ini."

Aku tersedak minuman sendiri. "Oh jadi selama ini aku cuma dimanfaatin? Katanya mau ngelatih aku. Kok malah disuruh ngamen di sini?!"

Dion menatap malas kepadaku. Huh, sorot mata seperti ini lagi. Sudahlah aku hapal gelagat pemuda satu ini, sebentar lagi dia akan mengeluarkan mantra andalannya.

"Ini juga latihan, Cungkring. Latihan ngebentuk mental lo!"

Iya, melatih mental menghadapi sikap Dion yang super menjengkelkan. Tetapi bukan latihan seperti itu yang aku bayangkan. Bukan, ini tidak pantas disebut latihan, melainkan eksploitasi anak! Kalian mengerti maksudku?

"Ini bukan latihan!"

"Apa perlu gue jelasin berkali-kali?!"

Kami berdua saling melempar tatapan sengit. Sepertinya semesta ikut menabuh genderang perang. Tiba-tiba gelegar petir menyambar tiang listrik berjarak 50 meter dari tempatku sekarang, angin puyuh bertiup begitu kencang sampai-sampai gerobak es doger yang dekat dengan kami terbang entah kemana. Tidak sampai disitu, langit yang tadinya begitu bersih dan terik seketika menghitam. Suasana tiba-tiba mencekam, aura permusuhan diantara kami tidak bisa terelakkan.

Suara klakson mobil saling bersahutan, tubrukan, decitan dan teriakan histeris orang-orang berseliwuran ditelinga. Walaupun membelakangi bahu jalan, aku tahu di sana sedang terjadi tabrakan beruntun. Entahlah, tubuh ini berasa terpaku ditempat. Mata hitamku masih menghujam pada kepunyaan Dion, sepertinya dia sama. Tidak peduli dengan yang terjadi di sekitar sekarang.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang