26. Sudah Sangat Dekat.

34 14 0
                                    

Entah sudah berapa lama sepatu sneakers Angel menendang kecil lantai penuh debu itu. Ingin sekali gadis itu segera membunuh rasa bosan yang menggerayang. Sayangnya sang teman masih asik dengan dunia sendiri dan saat seperti ini, gadis berkucir kuda di sebelah tidak bisa diganggu berang sebentar.

Nimas sedang berdiri di sebuah lapak pedagang sayur. Tangan lincahnya sangat aktif memilah-milah dagangan. Bak selaras dengan peribahasa, bagai sayur tanpa garam. Kurang sedap rasanya jika berbelanja ke pasar tanpa adanya aksi tawar-menawar. Selagi memilih, tidak lupa gadis cantik ini menanyakan harga dan jika merasa terlalu mahal. Ia tak akan segan berusaha menurunkan harga sesuai keinginanya.

"Udah segini, Mbak. Ngga bisa kurang lagi. Harga cabai lagi mahal-mahalnya." Laki-laki berkaos oblong cokelat berlengan pendek itu melangsa. Gadis dihadapannya ini rupanya sangat komputen dalam hal tawar-memawar barang. Berbagai cara telah ia lakukan agar prosesi jual beli ini segera berakhir, nyatanya tidak ada satu carapun yang berhasil, yang ada sang lawan semakin kokoh dalam menghentak harga.

"Dua puluh ribu seperempat? Kemahalan Bang. Kurangin lah jadi lima belas." Seperti keluar dari kepribadian biasanya. Nimas bertransformasi menjadi sosok lain saat dihadapkan dalam situasi semacam ini.

"Delapan belas Mbak. Saya udah ngga berani nurunin. Tekor nanti!"

Nimas membuang napas berat. Melirik lesu pada gunung cabai rawit. Lantas beralih pada tumpukan tomat, kangkung dan beberapa sayur-mayur yang dijajakan.

"Kalo kangkungnya empat ikat berapaan Bang?"

Sang pedagang dibuat cengo. Belum habis lagi perkara cabai rawit. Gadis itu malah berpindah ke dagangan yang lain.

Akhirnya, Nimas menghabiskan waktu hampir dua puluh menit di lapak pedangang itu. Sang gadis mengubah strategi, ia berniatĺ menanyai harga semua barang yang akan ia beli. Lantas saat semua harga telah dijumlah, ia kembali menawar serendah mungkin.

"Kemana lagi?" Angel langsung bertanya saat Nimas menerima dua kantung kresek besar. Dua alisnya bertaut saat mendapati mimik Nimas seakan berpikir.

"Gue mau beli ayam potong." Tanpa menunggu perubahan raut wajah Angel. Nimas menyodorkan uang lembar seratus ribu. Senyum cerah terpatri indah di pahatan cantik gadis itu. Meski ia tidak mendapat harga sesuai dari penawaran awal. Tetapi, bisa memotong harga hingga lima belas persen sudah lebih dari cukup.

"Angel, ayo!" Nimas berujar setelah menerima kembalian, lantas melenggang pergi. Meninggalkan Angel yang sudah kepalang jengah.

Selayaknya orang-orang pada umumnya. Setelah enam hari bergelut dengan rutinitas monoton. Akhirnya Nimas dapat sedikit bernapas lega. Akhir pekan menjadi hari kebebasannya. Tidak ada sekolah, les privat, jadwal bimbel dan lain sebagainya yang berkaitan dengan belajar. Pagi ini ia berencana untuk menyegarkan otak. Sebelum nanti siang ia ada janji dengan Kang Ginanjar di sanggar Ananda.

Berbeda dengan remaja kebanyakan yang lebih memilih akhir pekan untuk bermalas-malasan atau hang out bersama teman-teman. Selepas sarapan dan mandi. Angel yang awalnya mengira Nimas akan berleha-leha disisa hari rupanya salah. Dan di sinilah dua remaja putri itu berada. Di sebuah pasar tradisional yang bisa dibilang agak jauh dari komplek perumahan Nimas. 

Angel dengan langkah malasnya mengekori Nimas yang melompat dari satu lapak dagang ke lapak yang lainnya.

"Nimas, masih lama ngga?" Entah sudah berapa kali pertanyaan itu lolos. Angel memang jengah dengan keramaian pasar yang terpampang, tetapi mulutnya tidak akan lelah menanyakan hal yang sama.

Angel memacu kedua kakinya. Nimas semakin jauh di depan. Pandangan dari punggung sang teman mulai terhalang gerombolan orang-orang yang entah sejak kapan berkumpul di depannya. Tak ayal, Angel meneriaki nama Nimas. Ia dapat mendengar sahutan. Tapi, tetap saja keberadaan sang teman belum tertangkap indera penglihatan.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang