46. Kepingan Kisah Si Gadis Kupu-Kupu.

36 10 0
                                    

Lir ilir lir ilir...

Tandure wong sumilir....

Tak ijo royo royo....

Tak sengguh panganten anyar....

Cah angon cah angon....

penekno blimbing kuwi....

Lunyu lunyu penekno....

kanggo mbasuh odotiro....

Dodotiro dodotiro kumintir bedah ing pinggir....

Dondomana jrumatane kanggo seba mengko sore....

Mumpung padang rembulane....

Mumpung jembar kalangane....

Sun suroko surok hiyo....

Lir ilir lir ilir....

Tandure wong sumilir....

Tak ijo royo royo.....

Tak sengguh panganten anyar....

Sebuah kidung ciptaan sunan Kalijaga menyebar di seluruh kamar berdinding anyaman bambu ini. Wanita ini terus bersenandung syahdu sambil menyisir rambut panjang anak bungsunya.

Anak gadis sekitaran usia sembilan tahun itu kadang kala ikut bernyanyi. Suara serak-serak basahnya seakan ingin bersaing dengan suara lembut sang ibu. Mereka akhirnya sampai dibait terakhir, begitu pula rambut gadis itu telah rapi terkepang dua.

Setelah menoel hidung pesek sang anak, perempuan paruh baya ini merapikan sisir dan minyak rambut. Sementara anaknya menelisik pantulan tubuh di cermin buram di kamar tersebut. Lantas mengait tangan sang ibu berniat mengajak keluar. Tergopoh-gopoh, terpaksa si ibu menuruti anak gadisnya.

Di ruang makan sang suami telah duduk tenang sembari menikmati sarapan alakadarnya ---sepiring nasi goreng yang hanya bertoping bawang merah ditemani ikan goreng bekas semalam.

Sang anak langsung duduk di samping sang ayah. Dia menyodorkan piring kepada ibunya ---meminta segera diisi dengan nasi goreng terenak yang pernah ia makan.

Setelah selesai dengan anak gadisnya, perempuan itu teringat bahwa masih ada satu anggota keluarganya yang belum bergabung. Cekatan ia bangkit dan menuju satu ruangan.

Baru saja hendak membuka pintu, sesosok anak laki-laki berseragam SMP telah lebih dulu keluar. Setelah mengomel sebentar khas ibu-ibu. Mereka lantas kembali bergabung dengan anggota keluarga lainnya.

Sebuah keluarga beranggota empat orang. Ada suami, istri dan sepasang anak. Meski hanya makan lesehan beralas tikar. Mereka tampak begitu bahagia. Celoteh si bungsu yang begitu menggemaskan mengundang tawa dari keluarganya. Kelakar dari sang ayah juga menambah keharmonisan keluarga ini.

Setelah menyelesaikan sarapan. Keluarga ini bersiap menjalankan kegiatan masing- masing. Sang kepala keluarga telah siap dengan cangkul juga pacul, ia akan berangkat ke sawah. Dua anak mereka akan ke sekolah. Sedangkan si ibu tetap di rumah dan pukul sembilan nanti akan pergi ke pasar.

Satu kecupan hangat mendarat di dahi si gadis sebelum ayahnya benar-benar meninggalkan rumah. Setelahnya gadis cilik itu mengoceh panjang-pendek pasalnya sang kakak lama mengambil sepeda. Sedangkan sang kakak membela diri dengan dalih ban sepedanya kempes dan harus di pompa dulu.

Sang ibu melerai keduanya. Jika terus berdebat yang ada mereka akan benar-benar terlambat.

Setelah salim, seperti kebiasaan keluarga itu. Si ibu mengecup kening putrinya. Gadis cilik itu sampai merona saat diperlakukan demikian. Namun tidak bagi si sulung, merasa sudah bukan anak kecil lagi, ia menolak ciuman dari sang ibu.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang