10. Pekerjaan baru dan gadis manis.

63 19 0
                                    

Sri kelimpungan, dia sedang berhadapan dengan Asih, wanita nyentrik dengan busana berwarna cerah, jangan lupa riasan wajah ikonik dengan lipstik merah menyala serta rambut sebahu dengan volume besar dan mengembang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sri kelimpungan, dia sedang berhadapan dengan Asih, wanita nyentrik dengan busana berwarna cerah, jangan lupa riasan wajah ikonik dengan lipstik merah menyala serta rambut sebahu dengan volume besar dan mengembang. Persis seperti dandanan wanita tahun 80-an.

Kasih, orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Asih, entah sejak kapan panggilan itu tersemat. Yang pasti hampir semua penghuni di gang Serumput ini lebih tahu dengan Asih daripada nama aslinya.

Wanita separuh abad itu berhadapan dengan perempuan yang lebih muda 23 tahun darinya.

"Maaf, saya minta waktu lagi, Bu." Sri menangkup kedua tangan di depan dada dan sedikit menunduk. Dia malu bertatapan langsung dengan wanita pemilik rumah kontrakan yang dihuninya.

Asih hanya menghembuskan napas pelan. Ia tahu betul dengan keadaan Sri saat ini. Kabar Dullah, suami Sri yang dua minggu lalu datang ke sini dan mengamuk gara-gara uang. Tentu sampai ke telinganya. Bukan setahun-dua tahun Asih mengenal Sri namun sudah hampir delapan tahun, dengan waktu selama itu Asih sudah sangat mengenal sifat perempuan cantik yang sayang kemolekan parasnya tertutupi oleh gurat ketegaran itu.

Meski mengerti, tetap saja ini adalah kewajiban seorang penghuni kontrakan untuk membayar tepat waktu.

"Sri, saya tahu. Tapi ini udah lebih seminggu. Kamu janji hari ini bayar'kan?"

"Uangnya belum ada, saya janji kalo uangnya terkumpul pasti akan bayar," ujar Sri masih dalam mode sungkan, malu sekaligus takut.

"Saya tahu keadaanmu sekarang. Tapi saya juga ngga bisa memberi waktu lebih lama lagi, takut penghuni lain juga melakukan yang sama. Tekor saya nanti."

"Saya tahu,Bu. Tapi, beri sedikit waktu lagi."

Asih memang iba terhadap wanita bersuami rasa janda itu. Dia juga sadar tidak bisa memaksa kehendaknya. Dengan perlahan wanita penggila fasion 80-an ini bangkit dari kursi kayu yang menjadi tempat mereka berrcengkrama.

Menarik napas pelan. "Saya beri waktu satu minggu lagi," putus Asih. Sri akhirnya berani mengangkat kepala dengan senyum kikuk yang menghiasi bibirnya dia ikut bangkit mengikuti sang empu rumah.

"Terima kasih," lirih Sri berujar.

Punggung Asih telah hilang dibelokan gang. Sri menarik napas pelan. Hanya sesaat sebelum otaknya kembali diajak berpacu untuk memikirkan solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Dia harus mengumpulkan uang tujuh ratus ribu hanya dalam tenggak waktu satu minggu. Sri sadar pekerjaannya sebagai buruh cuci berupah minim pasti tidak akan bisa mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Lelah dengan segala yang berkecamuk didalam dada, Sri memutuskan duduk dikursi teras sembari memandang kerlap-kerlip bintang nan jauh di atas. Langit malam ini begitu cerah. Seandainya saja kehidupan Sri sebening langit malam, pasti hidupnya sangat bahagia.

"Ibu." Sesaat Sri menurunkan pandangan. Ternyata Dimas, bocah itu melambai kearah Sri, dia sangat manis dengan baju koko dan sarung yang sengaja disampirkan dipundak sebelah kanan, peci hitam yang seingat Sri dia pasang dikepala sang anak telah berubah posisi, tidak serapi saat dia berangkat ke moshulla dua jam yang lalu.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang