"Nimas adalah murid yang susah untuk menangkap pelajaran. Hampir semua pelajaran dia tidak bisa. Saya takut jika terus seperti ini nilai Nimas akan tertinggal dari teman-temannya."
Dua orang wanita saling berbincang-bincang. Yang mana satu wanita berseragam cokelat dengan sanggul rambut serta tusuk kode mencuat dipuncaknya berprofesi sebagai guru. Berhalat meja kayu, seorang wanita sekitaran akhir dua puluhan berpakaian rapi berstelan khas pekerja kantoran dengan seksama mendengarkan si guru wali kelas anaknya.
"Apa semua mata pelajaran,Bu?"
Wanita itu harap-harap cemas. Dia menelisik satu per satu nilai tugas anaknya yang sengaja diperlihatkan sang guru. Tidak bisa dipercaya anak semata wayangnya payah dalam pelajaran. Semua nilainya di bawah enam. Anak yang dia andalkan untuk menjadi terbaik dalam segala hal guna mempersiapkan masa depan yang gemilang malah mengecewakannya!
"Ah ... ya saya lupa. Nimas selalu mendapat nilai bagus dipelajaran seni budaya dan nilai olahraganya juga tidak terlalu buruk."
"Seni budaya dan olahraga?" Perempuan itu mengidarkan bola mata ke kolom yang bertuliskan 'seni budaya'.
"Benar, Ibu. Nimas sangat berbakat dibidang seni apalagi menggambar. Dia juga selalu terlihat bersemangat jika pelajaran seni budaya dan saat olahraga, fisik Nimas bisa di kata lebih unggul dari murid perempuan lainnya. Sementara pelajaran yang lain dia selalu terlihat kebingungan dan kurang bersemangat."
"Ibu tenang saja, Nimas baru kelas 1 SD masih banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan." Melihat wanita dihadapannya makin frustasi si guru mencoba menghibur.
Sepertinya si guru gagal. Lihatlah! Wanita itu tetap memasang wajah kecewa.
Setelah menghirup oksigen sebanyak-banyaknya serta mengitari ruang guru dengan bola matanya. Dia berusaha bangkit dari kursi.
"Sepertinya tinggal kita berdua saja, ya Bu Tyas. Kalo begitu saya pamit pulang juga." Dia menyodorkan buku nilai kepada guru yang diketahui bernama Tyas tersebut.
Tyas mengikuti yang diperbuat orang tua muridnya itu. Dia dengan setia melengkungkan dua sudut bibirnya meski dibalas dengan senyum terpaksa.
"Biar saya antar sampai pintu."
Perkataannya diangguki. Dengan semangat Tyas mengekori dibelakang.
Wanita itu adalah Widia, seorang pengacara kondang dikota tempatnya tinggal sekaligus istri pemilik yayasan yang menaungi sekolah swasta tersebut.
Ada rasa kagum sekaligus segan dihati Tyas kepada Widia. Meski Widia adalah seorang yang sibuk, dalam seminggu ia akan menyempatkan diri menjemput Nimas pulang sekolah. Namun, setiap Widia menjemput Nimas, Wanita itu pasti meminta waktu sekitar lima belas menit setelah bel berbunyi untuk berbincang-bincang dengannya sekedar mengetahui perkembangan Nimas di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...