13. Bagaimana mereka bertemu?

57 14 0
                                    

Entah angin lalu dari mana malam tadi, sehabis makan malam ibu mengatakan bahwa besok ia akan membawaku ke rumah majikannya. Saat ini jam menunjukkan pukul enam pagi, aku baru saja selesai mandi. Hanya berbalut handuk sebatas pinggang aku menatap pantulan tubuh pada cermin. Mengesalkan bekas biru pada pundak kiri masih terlihat jelas. Huh, ini adalah oleh-oleh latihan kemarin.

Ibu belum mengetahuinya dan jangan sampai tahu. Keadaanku saat ini jauh lebih baik dibandingkan beberapa minggu yang lalu, saat awal-awal latihan. Pada waktu itu setelah latihan seluruh tubuh terasa remuk redam. Pegal dan linu menggerayang, bahkan sampai jatuh sakit. Mengingat itu semua membuatku tertawa, betapa lemahnya fisik ini.

Ibu tentu sangat terpukul saat mengetahui tubuh anaknya yang penuh dengan lebam. Dia mengira aku pasti dipukuli lagi oleh para preman-preman itu. Dia sampai ambil cuti bekerja hanya untuk merawat anak lemahnya ini. Aku sangat merasa bersalah waktu itu, oh Ibu maafkan tubuh ini. Semua itu aku lakukan juga untuk membela martabat kita dihadapan Bapak. Suatu hari nanti.

Semenjak kejadian itu, setiap selesai latihan dan mengobati luka luar, Dion akan memijatku dengan minyak urut. Sungguh pijatannya meski menyakitkan namun dapat membuat tubuh kembali segar. Aku sendiri tidak menyangka Dion berbakat sebagai tukang urut. Eh, tapi jangan bilang-bilang Dion yah.

Aku harus cepat memakai pakaian sebelum ibu melihat ini semua. Di atas ranjang berkasur tipis sudah tersedia setelah kemeja biru malam dengan celana hitam, baju terbaik yang aku miliki. Menghela napas pelan, aku sendiri tidak mengetahui alasan Ibu mengajakku ke sana. Apa ada hajatan? Syukuran? Atau pesta ulang tahun seperti sinetron-sinetron ditv? Semoga saja salah satu perkiraan itu benar. Lumayan makan enak. Ais! Diingat-ingat sudah lama aku tidak makan ayam goreng. Eh?

Fokus, Dimas fokus! Pakai pakaianmu, cepat!

Wow! Satu kata yang langsung terbesit di hati. Aku tidak sedang bermimpi'kan? Jika tiga bulan lalu aku melihat satu rumah gedongan nyasar didekat terminal. Hari ini aku sedang berada kawasan yang semua rumahnya adalah gedongan!

Gila! Jika dulu aku hanya bisa melihat rumah-rumah ini dari balik kaca televisi, sekarang malah didepan mata sendiri. Aku tidak henti-henti menunjuk satu persatu deretan rumah tersebut. Mungkin pula saat ini dua bola hitamku berpendar bening.

Ibu terkikik kecil melihat reaksiku. Dia tidak menghalangi ataupun mendukung aksi ini. Dia hanya menuntun agar aku yang tidak fokus ke jalan tetap aman. Dengan tangan mungil ini berpegang kuat pada tepi baju ibu.

Kami berangkat dengan menumpang angkot namun karena ibu memberhentikannya di depan pintu masuk kami melanjutkan dengan berjalan kaki. Setelah hampir menghabiskan waktu dua puluh menit perjalanan, akhirnya kami masuk ke salah satu rumah. Akh ... aku melongo melihatnya pokoknya hampir sama seperti rumah yang disinetron itu!

Diluarnya saja sudah sangat bagus apa lagi didalamnya. Benar-benar menakjubkan! Eh kok ada yang aneh yah? Dimana makanan enak yang biasa ada di rumah-rumah orang kaya? Di mana hiasan-hiasan cantik yang seperti ditv itu? Tunggu! Lho kok aku baru sadar rumah ini terlihat seperti tidak akan mengadakan acara apapun. Cuma ada banyak orang yang berlalu lalang dan sepertinya mereka juga bekerja di sini. Eh, terus mengapa ibu mengajak ke sini?

"Ibu ...." Aku menarik-narik tepi bajunya. "Kita ke sini ngapain?" Ibu sedikit merendah dia mengusap pelan surai yang telah tertata rapi.

"Sebentar, Sayang," ucapnya.

Aku mengerutkan bibir, sedikit memasang wajah masam. "Ibu ... Dimas laper, tadikan Dimas sarapannya dikit." Bodoh, tadi pagi sebenarnya Ibu telah mewanti agar sarapan seperti biasa, tetapi karena isi otak telah dipenuhi angan-angan makanan lezat di rumah ini, jadi perintah ibu aku abaikan.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang