Ruang makan bernuansa krim dan putih ini tampak elegan. Lima buah kursi beserta satu meja berukuran sedang terletak rapi tengah-tengah sedangkan di sebelahnya terdapat mini bar. Dapur yang sengaja didesain menyatu dengan tempat makan itu menegaskan bahwa ruangan tersebut berkonsep minimalis. Kaca bening besar yang terletak disebelah utara langsung menampilkan pemandangan kolam renang berair biru, memberikan kesan luas pada ruangan tersebut.
Denting sendok dan garpu menemani santap malam satu keluarga ini. Terdapat dua wanita berbeda usia yang mana satu masih terlihat diawal 30-an sedang yang lain menginjak usia 60 tahun, seorang gadis cilik berpakaian piyama bergambar kartun robot kucing berwarna biru ia semakin terlihat menggemaskan dengan rambut sengaja dikucir dua serta seorang pria berkostum kaos oblong dengan celana pendek.
Terlihat seperti keluarga bahagia dan sempurna. Paling tidak itu yang orang-orang ketahui tentang satu keluarga ini.
Tidak ada percakapan sedikitpun. Semua fokus kepada piring masing-masing.
Jenuh dengan suasana seperti ini, sang anak mencoba angkat suara.
"Pa ... Ma ... Nimas boleh ngga ikut les melukis?" Nimas mengecap bibir bawahnya. Dia menatap penuh harap pada dua sosok yang dipanggilnya papa dan mama itu. Tidak dipungkiri hati kecil gadis cilik ini terasa sangat ringan. Sudah lama ia ingin mengutarakan permintaan itu. Orang tuanya selalu sibuk dengan urusan masing-masing.
Entah keajaiban dari mana hari ini, malam ini. Kedua orang tua Nimas pulang lebih awal.
Adnan menghentikan gerak sendok yang hampir masuk kedalam mulutnya. Dia sedikit mendongak kepada sang anak yang kebetulan berada tepat diseberangnya. Lantas ia mengalihkan perhatian pada Widia, sang istri rupanya melakukan hal yang sama. Sepasang suami-istri ini saling lempar lirikan mata.
"Les melukis?" Widia mengerutkan alis.
"Iya,Ma." Nimas semakin bersemangat setelah mendapat respon dari orang tuanya.
"Untuk apa?" Adnan menghentikan kegiatan makannya sekarang fokus kepada sang anak semata wayang.
"Nimas suka gambar, kata Bu Gina gambaran Nimas bagus." Pernyataan sederhana keluar dari bibir tipis itu.
Adnan dan Widia kembali saling lirik. Tanpa terduga sama-sama menarik napas pelan.
"Nimas selesaikan dulu makannya. Yah!" titah Widia yang diangguki semangat oleh bocah tujuh tahun itu. Dalam benak gadis cilik ini geleyar hangat menguar, dia menyangka orang tuanya akan menuruti keinginannya kali ini.
Fatma, wanita berumur itu tidak ada minat untuk ikut menimpali. Permintaan Nimas sebenarnya sudah pernah didengarnya. Namun, melihat anak dan menantunya yang seakan menghindari topik semacam itu. Fatma tahu ini akan sulit bagi bocah tujuh tahun itu mengingat pola pikir kedua orang tuanya.
***"Pa, Ma. Cita-cita Nimas mau jadi pelukis."
Pelukis?
Apa faedah dari kegiatan menggores kanvas dengan berbagai cat warna-warni itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...