36. Permintaan yang tidak bisa ditolak

33 12 0
                                    

Tidak peduli dengan terik matahari yang siap membakar kulit. Pemuda itu duduk tanpa alas di atas atap sekolah. Berteman sebungkus rokok, ia menikmati terpaan angin yang mengelus lembut wajahnya.

Bingung, gelisah, galau, frustasi. Entah kata mana yang cocok menggambarkan suasana hatinya saat ini. Sekarang ia hanya ingin sendiri, memenangkan diri. Tetapi, bolehlah ia jujur atas diri sendiri? Ia ingin ada seseorang yang mengerti tentangnya. Bukan sekumpulan orang yang hanya bisa menyalahkan keputusan yang ia buat. Bahkan dua teman paling dekatpun tidak bisa membantu. Jika satunya angkat tangan dan memilih untuk diam, sementara yang lain, memilih ikut memprotes tindakannya.

"Dimas ...!" Panggilan lirih dari belakang membuyarkan lamunan si pemuda. Ah, gadis itu, satu-satunya manusia yang tidak tertarik dengan kegemparan di kantin beberapa waktu lalu.

Sedikit memutar tubuh, Dimas mengangkat satu tangan. Tanpa diminta, gadis itu berjalan mendekati Dimas. Saat itu juga angin berhembus sedikit lebih kencang hingga menerbangkan anak-anak rambut. Meski memilih potongan pendek, tetap saja merepotkan.

Dimas terkikik geli saat gadis itu telah duduk sempurna di sampingnya. Akibat terpaan angin, rambut si gadis dibuat sedikit berantakan.

"Ternyata lo di sini. Di cari Vino tuh!" katanya sembari merapikan anak rambut dengan jari tangan.

"Kenapa dia cariin gue. Gue bukan anak kecil kali?"

"Tau."

Hening, dua muda-mudi berlainan jenis ini hanyut dalam pikiran masing-masing. Jika Dimas memilih menyesap kembali lintingan tembakau yang sudah habis setengah. Sang gadis memilih membuang muka ke tempat lain.

"Lo serius nolak Nimas?"

Setelah mengumpulkan keberanian sebanyak mungkin. Akhirnya gadis ini dapat mengungkapkan pertanyaan yang mungkin akan diajukan siapapun kepada Dimas.

Dimas hanya berdeham sebagai jawaban. Pemuda itu lalu menghembuskan kepulan asap putih beraroma khas ke udara, lantas menikmati sensasi yang tercipta.

"Kenapa? Gue kira kalian saling suka?"

Jujur saja, saat kata penolakkan terdengar. Ia yang sedang meminum es teh manis tersedak, sampai-sampai semua air yang telah masuk ke rongga mulut keluar lewat lubang hidung.

"Gue udah nganggep Nimas sebagai saudara dan ngga pernah terlintas sedikitpun di hati gue rasa suka sebagai cowok ke cewek."

Gadis ini tidak menyangka jawaban yang terlontar dari mulut Dimas. Bahkan, pemuda itu mengatakannya dengan tampang santai.

Setelah beberapa saat termangu dengan mulut terbuka. Gadis ini mulai memahami perasaan Dimas. Seutas simpul terangkai di bibir penuhnya.

"Emang berapa lama lo kenal sama Nimas? Dan perasaan lo ke dia itu kayak apa?"

Menghela napas pelan. Dimas mulai menerawang ke awang-awang.

"Sejak umur tujuh tahun. Kami tumbuh besar bersama dan pas SMP, gue resmi jadi anak angkat orang tua Nimas. Gue sayang banget sama dia, Sue. Tapi, sebagai seorang adik ke kakaknya."

"Adik ke kakak?"

Dimas menoleh kepada lawan bicara. Ia mengangguk takzim.

"Nimas lebih tua tiga bulan dari gue," katanya sembari kembali menatap lurus. Dimas berdecak pelan saat menyadari bara merah pada rokok telah mencapai batasan. Dengan sekali usel ke sol sepatu, bara api itu padam. Lantas pemuda itu mengapit lintingan baru dan mulai mematik api.

Meski tampang luar ia tampak kaget dengan pernyataan jujur Dimas. Nyatanya, gadis ini  tidak bisa menampik ada rasa lega yang sangat luar biasa.

Setelah melihat interaksi antara Dimas dan Nimas. Gadis ini mengetahui bahwa keduanya saling menyayangi. Ditambah isu simpang-siur yang beredar bahwa keduanya tertarik satu dengan yang lain, semakin membuat hatinya gundah.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang