Kaburnya Nimas dari rumah benar-benar membuat orang tuanya syok. Adnan dan Widia mengerahkan banyak cara untuk menemukan si tunggal. Selain melapor pada polisi, mereka menghubungi semua teman-teman Nimas —menanyai mungkin anak gadisnya bersembunyi di suatu tempat.
Berhari-hari Widia tak karuan rupa, makan tidak selera, tidur pun tidak nyenyak. Wanita itu terus mencemaskan keadaan Nimas. Fatma pun tidak jauh beda dengan sang menantu.
Beban pikiran Adnan makin terasa berkali lipat ketika mengetahui Dimas ikut menghilang. Pemuda yang ia anggap darah daging sendiri itu malah lenyap tanpa sebab. Adnan berdoa anak-anaknya dalam keadaan baik-baik saja.
Di hari keempat, tiba-tiba Nimas dan Dimas muncul bersamaan. Widia langsung memeluk anak perawannya, tidak luput mencium kening, pipi, hidung lantas menangis bahagia. Adnan tidak mau ketinggalan segera merangkul anak dan istrinya. Keluarga ini saling mencurahkan kerinduan diiringi air mata bahagia.
Nimas sendiri tidak menyangka kedua orang tuanya sepanik ini saat ia menghilang.
Fatma mendorong kursi roda mendekati Dimas. Lalu meminta remaja itu untuk menunduk. Wanita renta ini mengusap wajah Dimas yang masih tampak bekas lebam dan memar.
Dimas menceritakan yang terjadi terhadap Nimas. Baik Adnan, Widia dan Fatma terkejut mendengarnya. Widia justru semakin gencar menenggelamkan Nimas ke dadanya. Dimas memang berkata jujur bahwa Nimas diculik tetapi ia sedikit memodifikasi kronologi kejadian. Tidak mungkin pemuda itu akan mengatakan bahwa penculikkan itu dirancang untuk menangkap dirinya.
Dimas juga menerangkan luka lebam yang dideritanya akibat melawan komplotan penculik. Adnan hendak protes karena Dimas bertindak sendirian. Namun segera diredam oleh Nimas.
"Pah udah, Nimas ngga apa-apa," ucap Nimas.
"Tapi kalau terjadi yang tidak-tidak sama kalian gimana?" Adnan tidak bisa menyembunyikan kecemasan. Dia menatap bergantian muda-mudi itu.
"Tapi Nimas baik-baik aja,'kan sekarang?"
"Tetap aja kalian ini ... pokoknya Papa harus ketemu sama penculik kamu!"
"Mereka udah dihukum, Papa tenang yah!" Nimas tidak mau kalah. "Dari pada Papa marah-marah kenapa ngga berterima kasih sama Dimas? Kalau ngga ada dia, Nimas mungkin aja ngga akan ketemu Papa, Mama dan Omah lagi."
Adnan melirik kepada Dimas. Pemuda itu tertunduk. Adnan menarik napas pelan dan menitikkan air mata lantas menarik Dimas dalam dekapannya.
"Terima kasih ..., terima kasih Dimas."
Nimas tersenyum, ia juga kian nyaman dalam pelukkan sang ibu.
"Dimas juga berterima kasih sama Papa karena sudah mau ngerawat Dimas selama ini."
Adnan tidak bisa menyembunyikan haru, akhirnya Dimas memanggilnya dengan sebutan papa. Sebagai bentuk kebahagiaan, Adnan merangkul Dimas semakin erat.
Sejak hari itu juga, Adnan dan Widia membebaskan Nimas untuk mengekspresikan diri. Tidak ada lagi larangan untuk melukis, tidak ada target nilai yang harus dicapai ----meski begitu Nimas tetap harus belajar untuk mengejar ketinggalan, bedanya tidak seketat dulu.
Adnan dan Widia belajar, seorang anak seharusnya dibimbing bukan dituntut. Mereka mulai berusaha pulang tepat waktu, membuat momen bersama Dimas dan Nimas, serta turut andil dalam tumbuh kembang anak mereka walau agak terlambat.
****Sudah dua minggu sejak tragedi di kapal pesiar Naufal. Keadaan kembali normal. Kabar bahwa Ardi Firdaus asli telah lama tewas tersebar cepat, tetapi Dimas tak ambil pusing karena hanya segelintir orang luar saja yang tahu wajah Ardi Firdaus palsu. Mereka tak lain adalah Riska, Jenifer dan Maeda. Selama ini nama Dimas memang tidak seterkenal nama-nama tersebut di dunia bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...