16. Kematian seorang sahabat dan tantangan tidak masuk akal.

65 15 1
                                    

Rintik gerimis hari ini seakan ikut bersedih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rintik gerimis hari ini seakan ikut bersedih. Dunia kini berselimut kabut, entah apa yang terjadi setelah pertemuan kami tempo hari, kini tubuh itu terpujur kaku. Bibirku terasa kelu, surat yaasin dipegangan terabaikan.

Pelayat berdatangan silih berganti, wanita berkepala empat itu menyambut penuh duka. Pelupuk matanya telah bengkak, air matapun tidak berhenti mengucur. Aku kembali memberanikan diri melihat seonggok daging tak bernyawa itu, ia tertutup kain jarik. Percuma berlagak munafik, aku tidak bisa menahan bendungan yang terus-menerus melangsak keluar.

Suara lirih pembacaan ayat-ayat suci bergema syahdu dipenjuru rumah petak ini. Sementara sebagian kecil pria memilih membaca yaasin, yang lain sibuk mempersiapkan pengurusan jenazah. Sedangkan para wanita mengambil alih urusan dapur.

Tiba-tiba seseorang menepuk pelan pundakku. Aku terbelalak tidak percaya, wajahnya merah padam, bola matanya ikut berubah kemerahan, tidakku sangka ia menahan tangis sedari tadi.

"Lo ... mau di sini aja ... atau bantuin bapak-bapak?" Hanya kalimat itu, setelahnya ia menggigit bibir bawah dan segera meninggalkan tempat. Andi, dia sama terpukulnya bahkan terlihat jauh lebih terpuruk. Namun, begitulah ia masih bisa menahan gejolak emosi sedangkan aku sebaliknya. Merasa tidak tahan, lebih baik mengikuti jejak Andi.

Pemakaman berjalan penuh haru biru. Pak Faisal dan Ibu Aminah begitu terpukul atas kepergian anak sulung mereka. Wanita kepala empat itu sudah beberapa kali jatuh pingsan. Tak aral Algi baru berusia 19 tahun, kurang dari 24 jam ia masih terlihat sehat bugar bahkan kemarin kami baru bertemu, masih segar diingatan dia menggodaku habis-habisan. Tetapi mengapa pagi dikeesokan harinya malah kabar duka yang kuterima?

Dari tempatku berdiri sekarang, hanya gundukan tanah basah itulah satu-satunya perhatian. Dengung do'a dari seorang kiai masih mengalun merdu, suara serak termakan usia bagai pengiring yang sepadan dengan suasana hati yang berkabung.

"Jangan cengeng!" Lagi dan lagi Andi mengigatkan. Pemuda itu memegangi payung, hujan gerimis belum juga berhenti. Meski bibir berkata demikian, nada bergetarnya sangat jelas menampakkan kepedihan.

Ibu yang berdiri dilain sisi dengan Andi ikut membenarkan perintah sahabat kecil anaknya, meski tanpa suara. Sentuhan lembut pada punggung cukup membuatku mengerti maksudnya. Lantas ia menggiring kepala anaknya ini untuk bersandar pada bahunya. Tubuh itu kini jauh lebih pendek dibandingkan Dimas ini.

Algi, sahabatku... tidak. Kakakku. Semoga mendapat tempat yang layak di sisinya. Do'aku selalu menyertai.

****

Ada yang aneh. Ya ... aku yakin itu. Kemarin Algi terlihat was-was, ia bahkan beberapa kali gagal fokus. Sebenarnya apa yang terjadi setelah kami bertemu?

Aku menerawang ke awang-awang. Bodoh amat jika ada yang mengatai cengeng. Air mata ini masih saja ingin keluar. Sunyi. Sendiri diam termenung dengan berbalut luka. Gerimis baru saja berlalu, embun-embun sisa didedaunan beserta kicauan merdu burung belum berhasil mengobati hati perih ini.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang