50. Peristiwa Sebelum Memori Fotografis Bekerja.

43 13 0
                                    

Dullah sukses membuat anak semata wayangnya bergeming. Laki-laki paruh baya ini semakin mendekati Dimas. Sambil berjalan Dullah melepas rompi ---seragam pelayannya, membuang dasi kupu-kupu sembarangan. Sambil melangkahi mayat anak buah Naufal, ia membuka dua kancing teratas kemeja, lalu melipat lengan pakaiannya sebatas siku dan terakhir menyugar rambut hingga tak beraturan.

Dimas kembali berhadapan dengan sang ayah. Bayang-bayang kekejaman Dullah sewaktu kecil mengambang di pelupuk mata. Tatapan tajam itu, mimik itu, langkah tegap itu. Semuanya Dimas ingat, sama persis seperti dulu. Bergetar, tangan pemuda itu kembali mengangkat senjata.

Tepat ketika jarak keduanya tinggal semeter. Moncong pistol menyentuh dahi Dullah.

"Anak durhaka!" ucap Dullah. "Udah diselametin ini yang gue dapet?"

Dimas memutar bola mata malas. Dia menggeser letak tangan yang menggantung. Lesatan amunisi berdengung jelas di sisi telinga Dullah, membuat laki-laki paruh baya itu senam jantung untuk sesaat.

"Siapa yang minta diselametin sama Bapak?" ucap Dimas lantas berbalik. Membiarkan Dullah menetralkan detak jantung. Dullah sedikit memutar tubuh untuk mengetahui sasaran sang anak. Dia tersenyum simpul karena korban dari muntahan timah panas adalah perangkat CCTV yang terpasang di sudut langit-langit.

Dimas tidak tahu mengapa jadi begini. Pistol tadi sudah tepat sasaran tinggal tarik pelatuk, maka pria itu tewas. Namun, bukan Dimas jika mengambil jalan gegabah. Ia harus bersabar. Dimas masih membutuhkan Dullah untuk mengetahui rencana Naufal lebih rinci lagi serta memperjelas alasan keberadaannya di sini ---dan untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa Dimas adalah laki-laki yang tidak lemah.

"Ayo ikut gue!" Dullah berujar datar sambil melenggang mendahului Dimas. Laki-laki itu sedikit memutar tubuh karena tidak mendengar Dimas mengikutinya. Dia memberengut, dugaannya benar.

"Mau diam di sini sampe anak buah Naufal datang lagi?" Dullah langsung menarik telinga Dimas untuk mengikutinya. Remaja itu kaget sekaligus mengaduh karena diperlakukan seperti itu.

Dullah baru melepas jeweran setelah Dimas mau mengayun kakinya sendiri. Kecanggungan menyerang pasangan ayah dan anak ini. Mereka bergerak perlahan dan penuh kewaspadaan dan hanya berkomunikasi untuk memberi tahu keberadaan CCTV atau kelebat anak buah Naufal.

Hingga sang ayah tiba-tiba manarik tubuh anaknya untuk masuk ke sebuah ruangan sempit bahkan terlalu kecil untuk di masuki dua laki-laki dewasa, yang mana tempat itu diisi dengan perlengkapan kebersihan.

Mulut Dimas hampir saja memaki jika Dullah tidak langsung menyumpal mulut anaknya. Di saat bersamaan pasangan ayah-anak ini mendengar derap langkah melewati mereka.

Gemuruh yang sedari tadi bersemayam semakin menjadi-jadi. Dimas melihat sisi berbeda dari Dullah. Dimas merasa sikap Dullah kali ini selayaknya seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya. Dimas sedikit tersentak kala menyadari dirinya kembali menitikkan air mata.

"Bapak?" gumam Dimas.

Dullah berdesis halus, posisi tangannya masih menutup mulut Dimas dan pandangannya terpusat pada celah pada pintu untuk mengawasi keadaan.

Dimas segera menepis tangan sang ayah. Kemudian membuang muka ke sisi dinding dan berujar.

"Lo kesurupan setan apa gimana, kok jadi baik gini?" Selain tidak mau Dullah melihatnya berkaca-kaca. Pemuda ini juga mempertahankan ego, dia berlagak acuh tak acuh padahal hatinya berdesir hangat.

Dullah refleks menjitak kepala anaknya. "Salah gue baik? Mau kena dipukul kayak dulu lagi, gitu?" Dullah mengangkat tangan, mengancam. Beberapa detik kemudian telapak tangan itu kembali mendarat di mulut Dimas. Dullah menangkap adanya aktivitas diluar sana.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang