15. Pintu Pengakuan.

67 14 0
                                    

Jari-jari lentik gadis berpipi lesung itu dengan lincah menggores grafit pada buku gambarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jari-jari lentik gadis berpipi lesung itu dengan lincah menggores grafit pada buku gambarnya. Dia duduk dikursi rias yang sengaja menghadap tempat tidur. Bibir tipis itu tidak pernah bosan tertarik keatas. Kikikan kecil terdengar dari bibirnya yang terbuka sedikit.

Akhirnya selesai juga, sebuah sketsa anak laki-laki yang tidur diatas kasur berseprei ungu itu. Anak laki-laki itu  memeluk erat sebuah boneka panda dan dalam keadaan setengah tengkurap, ia teramat pulas dalam buaian selimut tebal hingga tanpa sadar air liur sudah menggenang diujung bibir.

Setelah menyimpan semua alat gambar pada tas selempang berukuran sedang itu, gadis berponi itu mendekat pada sang pemuda. Lantas menepuk-nepuk pelan pipi yang ditumbuhi dua butir jerawat itu.

"Dimas ... Dimas ...." Pemuda masih nyaman dengan posisinya membuat si gadis mendengus kesal. Mencari akal agar sahabatnya bangun, si gadis berpikir sambil memainkan ujung poni yang menggantung diatas alis. Dua menit kemudian senyum licik terpatri manis pada bibirnya.

"Dimas bangun!" Dengan sekali gerak gadis itu melompat keatas kasur lantas mulai melompat-lompat seperti berada ditranpolin, rambut hitam bergelombang itu ikut menari-nari mengikuti punggung yang dipacu naik-turun.

Dimas, pemuda itu tiba-tiba mengelenjang. Kelopak matanya dipaksa terbuka, belum lagi nyawanya terkumpul 100%, dia terbelalak kaget kala mendapati kaki Nimas hendak menghantam tubuhnya sontak dengan cepat ia berguling ke sisi ranjang dan sialnya malah kebablasan hingga terjatuh ke lantai.

"Aduh!" Dimas susah payah menggapai tepi ranjang ia berusaha bangkit dengan satu tangan memijat pinggang.

Nimas langung menghentikan aksinya, dia sekarang duduk dengan posisi kedua kaki terlipat ke belakang." Maaf." Suaranya terdengar lirih, namun. "Kamu sih tidurnya kayak kebo!"

Dimas yang awalnya masih sibuk dengan urusan pinggang langsung melayangkan tatapan melotot yang dibuat-buat kepada Nimas. "Enak aja aku dibilang kebo! Kamu tuh pake acara dandan segala tau-tau hasilnya cemong kayak monyet!"

"Cantik-cantik gini kamu bilang Monyet? Dasar Kebo!"

"Monyet!"

"Kebo!"

"Monyet!"

"Kebo!"

"Monyet!"

"Ais, ngalah kek sama cewek!"

"Ngalah sama cewek kayak kamu? Ngga akan!"

Begitulah, perdebatan tidak berfaedah terjadi antara Nimas dan Dimas. Dua anak manusia itu seakan lupa dengan janji mereka. Hingga salah satu diantara keduanya tidak sengaja melirik kearah jam dinding yang menggantung tinggi.

"Waduh, kita udah telat. Dimas cuci muka kamu! Ilermu netes tuh!" Tanpa mengubris ekspresi Dimas. Ia lantas meloncat dan dengan cekatan mengambil tas selempang  kuning cerah dari sandaran kursi dan sebuah benda persegi yang telah tertutup kertas berwarna cokelat dari atas meja belajar lalu pergi dari kamar. Meninggalkan Dimas yang wajahnya berubah merah.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang