Mobil box itu melintasi jalanan dengan kecepatan tinggi. Membelah jalan yang sedang hujan gerimis.
Untung saja saat ini tengah malam, tidak banyak kendaraan melintas. Hanya butuh diklakson sekali, kendaraan yang menghalangi dengan senang hati memberi jalan. Mobil box itu dengan leluasa memacu kecepatan sampai batasan.
Di dalam box seseorang didudukkan pada kursi kayu dengan tangan terikat di belakang dan wajah yang ditutup kain hitam. Bersamanya ada pria dan wanita dewasa yang mana masing-masing dari mereka menggenggam senjata api.
Kain disingkap, menampakkan kepala tertunduk seorang pemuda berusia 22 tahun. Kelopak mata pemuda itu perlahan terbuka, matanya beberapa kali kedap-kedip sebelum iris itu menyorot tajam guna menyesuaikan dengan pencahayaan dari lampu yang digantung tepat di atas. Kepalanya terangkat, menatap datar kearah pria dan wanita di depannya.
Boleh dikata meski pemuda ini menyorot tajam. Dia tetap terlihat tampan, ditambah ada titik hitam di bawah mata kirinya membuat pemuda ini semakin mempesona.
Salah satu penyandera melepas lakban yang membekap mulut sang pemuda.
"Apa mau kalian?" Belum selesai lakban dibuka si pemuda sudah angkat suara." Jika kalian menginginkan uang dari menculikku, kalian salah! Aku hanya seorang jurnalis magang yang miskin." Dia tidak peduli dengan ujung lakban yang masih menggantung diujung bibir.
"Diam kamu!" Lantang si pria berteriak tepat di depan wajah pemuda itu. Si pemuda mengerjap sebelah mata sebagai ganti tidak bisa menutup telinganya.
"Kami tahu identitas kamu sebagai Noname, Dimas. Kami juga tahu kamu diburu oleh Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Siapa saja yang dapat menangkapmu, negara-negara itu akan bersedia memberikan hadiah uang yang jika dirupiahkan seharga 4 triliun," katanya lagi sembari memberi jarak antara dirinya dan si pemuda.
" Tenang saja, kamu ngga akan kami serahkan ke negara tetangga. Kami lebih tertarik dengan isi otakmu, dengan itu kami akan mendapat uang yang jauh lebih banyak." Rekan si pria menepuk-nepuk pundak Dimas seraya merangkulnya dari belakang. Tidak jarang sesekali tangan nakal perempuan itu mengelus-elus rambut Dimas.
Dimas tersedak air liurnya sendiri.
"Aku akui kalian sangat hebat sampai bisa menangkap dan mengetahui nama asliku tapi, aku jamin kalian akan menyesal telah memberlakukanku seperti ini!" Urat leher Dimas tercetak jelas, dia berusaha berontak. Percuma saja, ikatan di belakang begitu kuat. Dia menarik nafas sebanyak mungkin mencoba kembali tenang.
Si perempuan yang dari tadi bergelayut manja di belakang Dimas mundur beberapa meter. Lantas mengeluarkan ponsel dari saku jaket hitam ketatnya.
"Ada seseorang yang ingin bicara denganmu!" Si wanita menggantung ponsel sejajar wajah Dimas. Di mana layar benda pipih itu telah tersembung video call.
"Selamat malam, tuan Dimas." Hanya suara yang terdengar. Sedangkan orang yang bicara tidak tampak batang tubuhnya.
Dimas tak mau menyahut. Dia hanya menatap layar gelap itu, tajam.
Untuk apa video call kalo wajah saja tidak tampak. Cih, jadi dia menyembunyikan identitasnya sedangkan rupaku diseberang sana terlihat jelas!
Cekikan kecil terdengar. " Dihitung-hitung hampir tujuh tahun aku mencari tahu tentang identitasmu. Ternyata usahaku tidak sia-sia kamu akhirnya aku dapatkan."
Tujuh tahun? Itu berarti dua tahun sebelum nama itu tercatat dibuku bingo .
"Hey, kenapa diam dari tadi? Apa kamu bisu? Sepertinya tidak," ujar pria diseberang telepon. "Angga, Mona sepertinya sandera kita harus dipancing dulu agar bicara. Bagaimana jika keluarkan 'itu'!"
Pria yang disebut Angga langsung mengambil sebuah laptop dari dalam tas ransel yang dari tadi teronggok dilantai. Dengan posisi berdiri jemari kanan Angga dengan mahir menari di atas keyboard sedangkan tangan satu ya memopang laptop agar sejajar dengan wajah.
Setelah selesai layar laptop dihadapkan kepada Dimas.
"Kamu bisa baca pesan itu, bukan?" tanya orang diseberang telepon.
Bola mata Dimas mencolos hendak keluar. Apa-apaan ini? Dia hendak mengirim surel ke interpol negara tetangga yang mengatakan bahwa dia menemukan Noname. Sialnya dalam surel itu dia menulis dengan gamblang nama kota serta posisinya sekarang.
Ok, saat seperti ini cara paling mudah adalah tetap berpikir tenang. Untuk itu Dimas menghela napas pelan, menahannya beberapa detik sebelum melepasnya perlahan.
"Mau kamu apakan pesan itu?"
"Kirim ke interpol negara dan orang-orang yang menjadi musuhmu tentunya. Hanya kurang dari 24 jam mereka pasti berkumpul di kota ini untuk memburumu."
"Apa kamu pikir mereka akan percaya begitu saja dengan pesan itu? Sebenarnya apa alasanmu melakukan ini padahal jika kamu sendiri yang menyerahkanku. Kamu akan mendapat uang yang sangat banyak! "
Suara gelak tawa bergema diseberang. Membuat Dimas menganggkat satu sudut alisnya
"Aku tahu kamu akan menanyakan itu, Dimas. Maka dari awal aku sudah mempersiapkan jawaban yang bisa membuatmu tercengang untuk kesekian kalinya."
Dimas makin dibuat binggung.
"Aku punya banyak link baik didunia luar maupun bawah tanah. Mereka mengenalku dengan identitas berbeda. Meski begitu mereka semua sangat memercayaiku karena aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku katakan. Jika aku berkata A, maka yang terjadi adalah A. Begitu juga jika aku mengatakan Z, maka Z lah yang terjadi."
Dia berhenti beberapa detik. Laki-laki di seberang laptop tersenyum miring lalu menggumamkan sesuatu.
"Aku menemukan komputer bekas punyamu."
Bola mata Dimas melebar seketika. " Mustahil," desisnya.
"Aku mau kamu menjadi anak buahku." Laki-laki kurang ajar itu kembali bicara.
"Aku menolak!" Nyalang Dimas berteriak.
Dimas dalam hati merutuki kecerobohannya kali ini. Mengapa bisa kecolongan? Nyawanya dalam bahaya! Dimas sebenarnya tidak ambil pusing dengan nyawanya yang terancam. Bagi pemuda ini mati dalam kondisi dan situasi apapun dia sudah siap, toh sudah beberapa kali dia harus mempertaruhkan nyawa karena ini sudah jadi bagian dari petualangannya. Namun, jika masih bisa bertahan hidup, Dimas akan mengusahakannya.
"Lakukanlah! Aku tahu cepat atau lambat hari ini akan tiba."
Oke, akan aku ikuti permainanmu. Lihat saja siapa yang akan menang.
Meski tidak terlihat oleh Dimas, orang diseberang sana menyeringai.
"Apa kamu tidak sayang ibu?"
Dimas melotot ke arah layar pipih yang dipegang Mona.
"Kamu apakan Ibuku?!"
"Dia baik-baik saja tapi apa dia akan senang jika mengetahui anak semata wayangnya adalah seorang penjahat yang diburon banyak negara? Ku rasa dia akan sangat kecewa denganmu, Dimas."
"Sudah ada anak buahku yang berada didekat ibumu. Aku penasaran bagaimana responnya? Apa depresinya akan kambuh lagi?" Orang diseberang mengelus-elus dagu seraya menyeringai. Mata pria itu nyalang menatap pantulan Dimas pada laptopnya.
Skakmat! Orang yang sedang dihadapi bukanlah sembarang orang. Dimas seperti dihadapkan dengan buah simalakama.
"Bangsat!"
Dimas tertunduk. Ibunya adalah titik terlemah Dimas. Orang-orang itu mahir mengaduk perasaannya.
"Bagaimana Dimas? Aku tahu kamu sangat menyayangi Ibumu. Aku bisa saja mengurungkan niat untuk mengirim surel itu."
#1010kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...