45. Yang Terkuat.

27 11 0
                                    

Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Mungkin pribahasa ini cocok untuk menggambarkan kondisi Dimas sekarang.

Ruang sempit ventilasi menjadi saksi bisu bagaimana Dimas mempertahankan selembar nyawannya. Dia membungkuk sambil mencerna denah pesiar yang diberikan sang ayah. Laki-laki yang diburu hampir seluruh penghuni kapal ini sedang memikirkan strategi untuk menyerang balik.

Seandainya Naufal tidak memiliki sandera. Dimas akan lebih mudah untuk melarikan diri. Pernah terbersit di benak pemuda itu untuk mengidahkan tentang adanya tawanan, ia lebih tertarik untuk mencari sang ayah guna mengulik informasi lebih dalam tentang rencana Naufal. Sekaligus memperjelas semua pertanyaan yang bersemayam. Dimas ingin mengetahui bagaimana cara sang ayah bisa sampai ke tempat ini dan mengetahui segala rencana Naufal.

Namun, pikiran egois tersebut entah kenapa kalah dengan hati nurani. Faktanya, Dimas tidak bisa menampik geleyar resah. Awalnya, ia berpikir salah salah satu sandera adalah gadis berambut pendek pemilik tubuh sintal mantan anggota Serangga Malam. Tetapi, hal itu langsung terbantahkan kala Dimas melihat sang gadis masih bisa berdiri tegak dan dalam keadaan tidak kurang satu apapun.

Dimas menyesal telah lalai, laki-laki yang dikira bodoh dan ceroboh ternyata dapat membelot dan mengungkap jati dirinya dihadapan publik. Dimas benci mengakui kalau selama ini dia telah salah menilai Rikie.

Berbicara tentang sang kepala preman pasar Margasari, Dimas jadi teringat awal mula pertemuan mereka, sekaligus prolog dari serentetan rencana balas dendam kepada Ardi Firdaus.

Untuk memuluskan hasrat busuk tersebut, Dimas harus masuk ke dalam kelompok mafia Ardi Firdaus. Maka dari itu, sebagai tonggak awal, Dimas akan menjadi preman di pasar Margasari. Lalu, mencari muka kepada salah satu kaki tangan Ardi Firdaus. Siapa lagi kalau bukan Rikie.

Namun, Dimas sadar jika hanya mengandalkan penampilan mengerikan serta tindak pemalakan. Belum cukup menarik perhatian Rikie. Banyak anak remaja seumuran dengannya yang sok-soan menjadi preman.

Bertindak kriminal hanya untuk mengejar pamor dilingkungan pertemanan masing-masing. Ketika berhadapan dengan preman kelas atas, mereka akan mencari celah untuk terlihat sejajar. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah, mereka diperlakukan selayaknya kerbau yang dicocok hidungnya oleh para preman yang kelasnya lebih tinggi. Mereka terlalu pengecut untuk bertindak lebih brutal untuk mendapat pengakuan sesama preman pasar Margasari.

Dimas tidak berpikir sedangkal itu. Jika ia melakukan hal yang serupa, dia tidak akan pernah dilirik oleh Rikie. Maka dari itu, sebuah ide gila tercetus. Dimas akan menantang duel seorang preman terkuat. Dimas berpikir, Rikie tidak akan melewatkan tontonan menarik ini. Jika Dimas menang, ia kan meminta agar keberadaannya sebagai preman diakui.

Bukan Dimas namanya jika bertindak tanpa nalar dan strategi. Jauh-jauh hari, remaja itu telah mempersiapkan diri sematang mungkin. Mulai dari latihan fisik dan mental, menjaga asupan nutrisi dalam tubuh, sampai memata-matai target.

Dari pengamatan yang mendalam Dimas menyimpulkan bahwa ---laki-laki itu memang pantas menyabet gelar preman terbengis bahkan melampaui Rikie yang notabene adalah atasannya.

Tubuh legam kekar berotot, tatapan sangar dan bekas luka menyilang di mata sebelah kanan ---semakin menambah kesan mengerikan pada sosok tersebut. Dimas sempat meneguk ludah kasar saat pertama kali melihat perawakannya.

Tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan sosok lelaki tersebut. Kehebatan fisik membuatnya angkuh, pemarah dan mudah menyepelekan lawan.

Meski demikian, Dimas belum bisa menganalisis gaya bertarungnya. Apa boleh buat, nyali orang-orang akan langsung menciut saat melihat perawakannya.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang