Dimas tidak percaya dengan pemandangan yang kini dilihatnya, sebuah kamar sederhana dengan dinding bercat kusam, sejauh mata memandang tidak ada perabot penghias. Dimas lantas memutar tubuh pemuda itu mendapati sebuah tirai bergambar bunga mawar yang juga telah kusam sebagai penghalang dari ruangan depan.
Di tengah-tengah kamar terdapat sebuah ranjang berukuran sedang. Seorang wanita duduk di kasur dengan membelakangi Dimas. Meski hanya punggung yang terpampang, Dimas dapat mengetahui perempuan tersebut adalah Sri Halimah, sang ibu.
Seakan berlomba dengan detik, jantung Dimas dibuat begitu berdebar. Pasalnya telah bertahun-tahun ia tak berani menemui perempuan yang telah melahirkannya itu.
Tidak sadar air mata Dimas luruh begitu saja. Terbersit dalam hatinya untuk berlari lalu jatuh ke pangkuan sang ibu. Namun, semua persendian Dimas membeku. Pada akhirnya pemuda ini hanya bisa terisak sambil terus menatap punggung Sri.
"Ibu sakit." Rintihan pilu itu menyentak Dimas. Dia kian memerhatikan gerak-gerik Sri. Entah kenapa dadanya semakin dibuat bergemuruh kala ada orang lain yang memanggil wanita itu dengan sebutan ibu.
Tubuh orang itu tertutup punggung Sri hingga Dimas tak bisa melihatnya. Dia lantas sedikit mendekat untuk tahu siapa gerangan orang yang sedang bersama Sri.
Seketika bola mata Dimas melebar, napasnya ikut tercegat. Pada akhirnya keseimbangan pemuda ini hampir hilang ---- ia mundur tiga langkah sambil menahan kaget yang tak terkira.
Anak itu adalah dirinya saat masih kecil. Dimas tidak salah mengenali. Anak kecil menangis sesenggukkan, tubuhnya pemuh dejgan luka dan lebam. Terkadang si bocah menyeka air mata sekaligus ingus yang terus melangsak keluar.
"Sudah, gak papa bentar lagi sembuh,'kan sudah diobatin." Sri meniup luka dipergelangan Dimas kecil, ia masih selembut Dimas ingat. Sungguh, tak ada yang berubah. Namun, paras ayu perempuan itu sedikit dinodai dengan beberapa luka lebam serta senyum yang dipaksa terlihat indah.
"Maafin Dimas ngga bisa ngelindungin Ibu dari bapak," ujar Dimas kecil.
Sri menggeleng pelan. "Kamu ngga usah pikirin itu, sekarang tidur supaya sakitnya berkurang."
"Seandainya Dimas lebih besar dan ngga takut. Pasti Dimas bakal lawan bapak, Dimas ngga suka lihat ibu luka-luka kayak gini." Dimas kecil terisak pada akhirnya. Dia menenggelamkan diri dalam pelukkan Sri.
"Maafin Dimas bu," rintih Dimas kecil.
Pemuda itu tidak mengerti yang terjadi. Dia terpaku dengan interaksi Sri dan Dimas kecil. Ingin sekali Dimas menggapai sang ibu tetapi tangannya melewati tubuh Sri begitu saja. Bahkan wanita itu seperti tidak tahu keberadaannya.
"Dimas janji kalau sudah besar nanti bakal melawan bapak!"
Sri tersentak, sekilas terlukis gurat tidak suka pada wajahnya namun sekejap mata berubah teduh.
"Dimas jangan gitu, ngga baik."
"Bu! Kok ibu belain bapak sih? Bapak,'kan sudah jahat sama kita!"
Gurat Sri berubah murung. "Hus! Jangan ngomong gitu, bapak tetap bapakmu juga."
Dimas dapat menangkap ekspresi Sri yang kental akan beban. Wanita itu mencoba tersenyum dan kembali menasehati Dimas kecil agar tidak membenci Dullah.
Tiba-tiba detak jarum jam berhenti. Begitu pula Sri, wanita itu mendadak seperti patung. Dimas panik, ia segera memanggil-manggil sang ibu.
"Kamu sudah tahu, yah?"
Dimas terkejut. Dirinya saat kecil menengadah ----menatap kepadanya. Dalam hitungan detik, ruangan ini berputar. Awalnya pelan. Tetapi lama-kelamaan semakin cepat hingga pemandangan sekitar menggabur bahkan tak terlihat. Aneh hanya Dimas dan Dimas kecil yang tidak terpengaruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...