21. Telepon.

47 15 0
                                    

Sekitar dua puluh anak buah Ardi berkumpul. Tepatnya berada diruang makan berdominasi hijau toska dengan meja makan membentang sepanjang  6,5 meter, tidak ada yang spesial hanya sebuah meja kayu tanpa taplak dengan kursi ukir yang berjejer disisi kanan dan kiri.

Dari sekian banyak anak buah Ardi, hanya terdapat empat pria yang terlihat duduk dikursi. Sisanya memilih menepi sembari terus berjaga.

Sekelompok personil kembali terlihat memasuki ruangan, sontak saja kedatangan mereka menjadi pusat utama. tampang pemimpin dari pasukan yang baru datang tampak terkejut namun hanya sesaat sebelum kaki yang dipenuhi oleh tatto itu melangkah menuju salah satu kursi, tanpa basa-basi ia langsung saja menghempaskan bokong besarnya ke kursi kayu tersebut.

"Waduh-waduh, ternyata sudah berkumpul semua," kata pria tanpa atasan tersebut, ia sentak meletakkan basuka ke atas meja makan. Membuat teman-temannya menghela napas berat.

"Tinggal tunggu si Iwan." Sebuah suara menintrupsi seluruh ruangan, pria berkameja biru muda itu duduk dengan tangan kanan menyangga kepala.

"Dia ngga bakal mau ke sini. Tuh orang udah kebakaran jenggot banget. Palingan terus kerahin anak buah buat cari si biang onar kejadian malam ini," jawab pria yang tidak sengaja duduk berhadapan dengannya.

"Lo mau apa ngumpulin kita di sini, Bocah Bau Kencur?"

Semua pandangan langsung tertuju pada pemuda yang duduk menghadap semua orang. Ia sedikit salah tingkah kala mendengar kalimat yang mengisaratkan ejekan tadi. Ada rasa tidak suka saat orang itu mengatainya bocah bau kencur. Dasar, mentang-mentang ia yang paling muda di sini.

"Kayaknya udah ngga ada yang ditunggu lagi, ada sebuah informasi yang ngga bisa gue sampein melalui alat komunikasi, jadi itu alasannya kalian dikumpulkan di sini, sebenarnya Bang Iwan juga harus tahu tapi ... sudahlah lupakan saja dia!" Pemuda itu menatap wajah satu-persatu rekannya.

Si pemuda sedikit menoleh kepada pria yang berdiri di sekitar tiga meter darinya. Mengerti arti lirikan tersebut, pria yang dimaksud mendekati meja makan panjang ini.

Semua mata berpaku pada benda- benda yang diletakkan. Sebuah gaun, wig, sepatu hak tinggi, katana, jaket, kotak biola, celana dan kemeja. Hampir semuanya ada noda darah kecuali kemeja navy dan kotak biola.

Beberapa dari anak buah Ardi berdecih,  mereka mulai meragukan teori tentang gadis PSK itu.

"Gue nemuin barang-barang itu dikamar bos Ardi, dan satu lagi ...." Si pemuda lantas merogoh saku jaket jeans kepunyaannya, mengeluarkan sebuah tabung ... tidak, sebuah botol obat yang mana didalamnya ada seonggok serangga yang tak bisa bergerak lagi.

"Ini." Benda itu berhasil merebut etensi semua orang.

"Gue yakin bos Ardi udah diracun menggunakan laba-laba itu. Dan coba kalian lebih teliti lagi, kotak biola itu sudah dimodifikasi, dari balik papan tempat meletakkan biola, masih terdapat tempat yang muat untuk menyembunyikan benda lain." Anak buah yang stand by langsung bergerak mengikuti penjelasan Tian, membongkar seluk-beluk benda tempat menyimpan alat musik gesek tersebut.

Seseorang mengebrak meja sambil tertawa sumbang. Setelah meraih lagi basukanya, laki-laki dengan tatto memenuhi kaki itu bangkit dari tempatnya.

"Lo mau kemana Bang Johan? Gue belum selesai." Orang yang dipanggil Johan sedikit memutar kepala, meski begitu ia tidak bisa melihat orang yang mencekal aksinya.

"Apa lagi? Tangan gue udah gatel." Tanpa mengetahui reaksi sang rekan, pria bertubuh kekar itu segera meninggalkan ruangan.

"Dia pasti sama kacaunya dengan Iwan." Kikikan kecil terdengar amat sumbang.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang