"Nimas ...?!"
panggilan lirih namun tegas itu berhasil membuat seluruh bulu kuduk berdiri. Nimas mencoba abai. Ia kembali mempompa kaki, kali ini dengan ritme yang lebih cepat.
Semakin cepat Nimas menjauh, semakin nyaring derap kaki di belakang. Gadis ini menggeleng kuat-kuat, ia tidak mau berurusan dengan pemuda itu. Titik!
"Nimas ... tunggu, lari lo kenceng amat!"
Sang gadis berusaha tidak peduli. Sialnya, panggilan dari mulut si pemuda terlalu mengusik indera pendengaran. Tanpa sadar, Nimas meremas rok sebatas pahanya. Peluh sebesar kacang tanah juga luruh membasahi dahi dan pelipis.
Tangga yang dituju telah terlihat, Nimas tidak mau buang waktu lebih banyak lagi. Ia akhirnya berlari. Sayangnya, satu langkah laki-laki sama dengan dua langkah perempuan. Nimas menabraķ dada bidang Anka. Pemuda itu berhasil menyalipnya.
Tidak mau berhadapan langsung dengan Anka. Nimas mengidarkan penglihatan ke sekeliling. Sial, entah karena pikiran Nimas yang terlalu kalut, ia baru menyadari suasana sudah begitu lenggang.
"Buru-buru amat, Neng?"
Nimas amat muak mendengar kata yang terdengar manis itu. Ia bergeser kanan, tetapi, Anka mengikutinya. Nimas lantas megambil opsi ke kiri. Sial, pemuda itu juga menyadarinya. Tidak tahan, gadis ini berbalik badan.
Kenapa Nimas lupa empat pemuda lainya?!
Nimas terkepung diberbagai sisi. Percuma, beberapa saat lagi, Nimas yakin akan menjadi objek perundungan bagi kelima pemuda itu.
"Nimas, gue suka muka lo yang kayak gini, imut!"
Anka telah berdiri tepat dihadapan Nimas. Saking dekatnya ujung sepatu mereka saling berciuman.
Seperti ini, keadaan ini. Selalu membuat dada kedua remaja itu bertalu kencang. Bedanya, jika Nimas merasa takut dan cemas. Anka merasa diterbangkan ke langit ke tujuh. Sebuah perasaan yang sangat membahagiakan. Ia ingin terus begini.
"L-lo mau apa lagi?" Nimas mengumpulkan keberanian untuk menatap manik Anka. Pelupuk mata gadis ini memanas. Ia makin kuat meremas kain rok motif kotak-kotak di bawah.
Anka selalu terlihat menyeramkan di mata Nimas. Setiap bertemu, Anka selalu mengangunya. Tidak peduli saat itu ia sedang sendiri atau bersama teman. Nimas merasa lemah, ia tidak bisa melindungi diri sendiri. Selalu saja, saat Anka berulah, ia hanya pasrah. Malah teman-temannyalah yang menjadi benteng pertahanan.
Anka tersentak kala menemukan mata Nimas memerah. Anka dapat dengan jelas merasakan tubuh gadis itu bergetar hebat saat menyelipkan anak rambut Nimas ke belakang telinga.
Nimas mundur, Anka bergerak maju. Teman-teman Anka menyingkir. Membiarkan pemuda itu beraksi sendiri. Mereka selalu ingat, Nimas itu jatah Anka.
"Gue bukan hantu, Nimas. Jangan takut dong!"
Bersetan dengan kata-kata Anka. Nimas sudah kebal dengan semua itu. Pasti ada ide jahil yang terlintas di benak pemuda itu.
Dada Nimas naik-turun dengan cepat. Ekor matanya bergulir ke kiri. Di sana tangan kanan Anka melintang sejajar wajah. Nimas tersudut ke dinding, sementara Anka mengurungnya.
Tersenyum miring, Anka mendekatkan wajah mereka hingga Nimas dapat merasakan hembusan napas pemuda yang mengukungnya. Semakin lama jarak mereka semakin menipis, Nimas membeku di tempat. Anka menutup mata dan mulutnya terbuka sedikit dengan bibir agak maju. Pasrah dengan apa yang akan diperbuat pemuda itu. Nimas spontan ikut menutup mata.
"Lo ... ngarepin ciuman sama gue, yah?"
Bola mata Nimas seketika terbuka lebar. Pipinya bersemu merah karena malu. Sementara, Anka tertawa terbahak-bahak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
AksiyonDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...