28. Tubuh Bergerak Sendiri.

40 12 0
                                    

"Nimas, Mama tinggal dulu yah. Kamu baik-baik di rumah." Widia mengelus puncak kepala anaknya. Wanita karir itu telah siap dengan setelan kantor berwarna pastel. Jas kantor berwarna krim serta
dipadukan dengan gaun cokelat muda.

Tidak ada jawaban dari sang anak. Nimas yang masih mengenakan baju tidur bergeming. Gadis itu duduk bersandar di punggung ranjang dengan tatapan lurus. Sayang, bola mata itu kelabu dan tidak berbayang.

"Jangan lupa sarapan!" Setelah itu, di indera pendengaran Nimas menangkap suara ujung sepatu beradu dengan lantai. Naluri, gadis itu mendongak dan bibir pucatnya perlahan bergetar.

"Mah," panggilnya begitu lirih membuat Widia yang baru tiga langkah menjauh kembali menoleh.

"Apa sayang?"

Tidak ada jawaban, Nimas kembali membisu. Namun tatapannya seakan memohon pada sang ibu untuk tidak pergi.

"Nimas, maaf yah. Mama ngga punya waktu lagi. Klien Mama dapat jadwal persidangan pertama."

Nimas tetap mematung. Merasa tidak ada hal penting dan Nimas hanya bergeming. Widia melanjutkan langkah yang tertunda. Wanita itu sekilas melirik jam tangan. Merasa waktu semakin menepis, ia tanpa sadar berlari kecil sampai garasi.

Di tempat lain, wanita tua awal tujuh puluhan menyaksikan interaksi sepasang ibu dan anak tersebut. Setelah punggung Widia hilang dari pandangan. Perlahan, Fatma mengarahkan kursi rodanya ke pintu kamar sang cucu. Mengintip Nimas dari sela pintu yang terbuka.

"Assalamualaikum." Nimas memasuki rumah dengan langkah gontai. Rambut acak-acakan, pergelangan yang memar, dan jejak air mata yang telah mengering.

Fatma sedang duduk manis sambil menikmati secangkir teh hangat langsung tersendak melihat sang cucu dalam keadaan mengenaskan.

"Kamu kenapa, Cu?" Kaki gemetar Nimas berhenti diundakan tangga pertama. Dengan mata sembabnya, ia menatap kosong kearah Fatma. Nimas memperbaiki letak jaket Dimas yang kebesaran ditubuhnya berharap benda itu dapat memberikan kehangatan lebih. Lantas menggeleng pelan.

"Nimas ke atas dulu yah, Omah. Nimas capek."

Dari gelagat, ekspresi dan respon Nimas. Siapa saja tahu bahwasanya dia dalam keadaan tidak baik-baik saja. Fatma langsung bertindak. Ia panggil-panggil sang cucu yang mulai menghilamg di undakan tangga yang melingkar. Sayangnya gadis itu tidak menyahut. Tidak pupus harapan Fatma, ia melihat Tiwo menghampirinya.

"Nimas kenapa?" Tiwo langsung diberundung pertanyaan. "Dia dari mana?" Fatma semakin memburu. "Angel, temennya kok ngga ada?"

Akhirnya, Tiwo menceritakan semua yang ia ketahui, tanpa menambah dan mengurangi. Fatma mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian. Terkadang, bola mata teduh itu bergetar, saat telinganya mendengar kondisi sang cucu sudah seperti itu sejak Tiwo menjemputnya. Ada sesuatu yang terjadi saat gadis itu sedang di pasar. Sesuatu yang tidak beres. Bahkan barang belanjaan tidak tampak adanya.

Tetapi, cerita dari sang sopir belum lengkap. Masih menjadi misteri sikap aneh Nimas hari ini. Fatma menarik napas pelan. Ia harus menuggu Dimas untuk mendengar cerita yang lebih rinci.

Wanita tua itu mengepal di depan dada. Rasanya seperti ada ribuan belati yang menusuk rongga pernapasannya. Tak aral, sudut mata keriputnya mengeluarkan cairan bening. Dimas datang satu jam kemudian dan langsung diberundungi pertanyaan yang sama. Hampir saja wanita itu pingsan saat mengetahui fakta sebenarnya. Dimas, di bantu Para pekerja di rumah itu langsung menuntut Fatma ke kamarnya untuk istirahat.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang