39. Sang Pujangga.

34 11 0
                                    

Setelah terus menghindar dan bersembunyi dari kejaran orang rumah, Nimas sampai di kawasan asing baginya. Air mata Nimas telah mengering, menyisakan jejak lengket dikedua belah pipi. Gadis ini terus berjalan tanpa arah. Gadis yang biasanya memamerkan lesung pipi ini tidak merisaukan kondisi sekitar. Yang dibutuhkannya sekarang adalah ketenangan.

Malam semakin larut, angin dingin berhembus lembut, menusuk kulit Nimas hingga ke tulang. Refleks, gadis ini membekap diri sendiri. Tanpa terasa pegal menyerang betis, dengan sedikit merendah, gadis ini memijat bagian belakang kaki. Ia kembali berdiri tegak, bola matanya mengitari sekitar, berharap ada kursi jalan di dekat sini.

Tiba-tiba deru motor terdengar, Nimas langsung berbalik dan mendapati seberkas cahaya dari kejauhan. Merasa tidak penting, Nimas kembali mencari kursi jalan.

Namun, lama-lama Mimas merasa deru motor itu memelan saat hampir berada didekatanya. Nimas merasa sedikit rakut saat menyadari sorot lampu kendaraan itu memantulkan bayangannya, semakin dekat bayangan itu membesar dan suara deru motor tepat berada belakangnya. Awalnya, Nimas berlagak biasa saja. Tetapi, instingnya berubah untuk sedikit menambah kecepatan. Peluh tiba-tiba membanjiri dahi serta pelipis.

Motor itu rupanya ikut menambah kecepatan. Naluri, gadis remaja ini berlari sekuat tenaga, takut-takut si pengendara adalah orang rumah atau seseorang yang berniat jahat padanya.

"Nimas!?"

Nimas mengenali suara berat itu. Dia menggeleng kuat-kuat, saat ini bukan waktu yang tepat untuk meladeni orang itu. Kenapa pemuda itu datang saat kondisinya seperti ini?

"Malam-malam gini ngapain masih di luar?"

Nimas tidak mau mengidahkan panggilan-panggilan dari orang itu, ia terus melangkah maju.

Mau bagaimanapun cara Nimas untuk menghindar. Kenyataannya, laju motor mengalahkan langkah kaki. Hanya hitungan detik, si pengendara menangkap tangan Nimas. Membuat gadis berhenti mendadak.

"Anka, bisa ngga jangan ganggu gue sekali ... aja?!"

Pemuda yang masih duduk di jok motor sedikit terlonjak. Ini kali pertama Nimas berani membentaknya. Sedetik kemudian mata besarnya menyipit dan bibir membentuk lengkungan ke atas.

Saat ini, Nimas belum menenguk ke belakang tetapi ia sudah sangat hapal dengan nada berat memuakkan itu.

"Kalau ada kesempatan kenapa ngga? Lo --"

Anka mencelos saat Nimas balik menatapnya. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang ulu hati. Gadis itu berusaha melayangkan sorot tajam dengan mata bengkak dan berwarna merah. Anka juga melihat bekas air mata menyebar di seluruh wajah Nimas. Tatapan menghunus yang sesaat kemudian berubah sayu.

"Gue mohon ..., jangan kali ini ...."

***
Entah apa yang merasuki pemuda pengganggu itu. Nimas sekarang berada di depan sebuah minimarket menunggui Anka yang punya urusan di dalam. Gadis ini duduk manis di atas jok motor milik Anka.

Ralat, Nimas juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia mau-mau saja ikut dengan Anka setelah pemuda itu membujuk dengan lembut padanya. Tutur yang tanpa sadar sedikit membuat Nimas tenang.

Setelah menunggu sekitar lima belas menit. Anka keluar membawa kantong kresek putih khas. Pemuda ini lantas menyerahkan kantong itu kepada Nimas.

Akhirnya sepasang remaja itu melaju sedang di jalanan. Tidak ada percakapan sedikitpun, di pikiran Anka sekarang adalah gadis ini masih meratapi penolakkan Dimas tadi siang. Tetapi, dalam benak Anka juga bertanya-tanya mengapa Nimas berani keluar malam dengan pakaian tipis.

"Gue anter pulang yah? Pamali cewek keluyuran malem-malem."

Nimas langsung menolak mentah-mentah ajakan Anka dengan nada tinggi. Tapi, saat ditanya kenapa gadis ini malah diam.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang