Extra Part: 58. Penutup.

86 8 0
                                    

Dimas menggeram dalam diam, dia kembali mengangkat kepala. "Memakai ibuku sebagai ancaman yah? Klasik."

Laki-laki di seberang sambungan menatap datar tetapi diam-diam kagum dengan pemuda itu. "Ya, anggap aja itu klasik," ujarnya.

"Tapi, ampuh, bukan? Kamu saja sampai pucat begitu," lanjutnya.

Dimas kembali berontak, kursi tempatnya terikat bergerak-gerak. Namun, hanya sebentar. Mona memegangi pundak Dimas.

"Diam." Perempuan berpakaian ketat itu memerintah dengan nada dingin.

Dimas menggerutu dalam hati, pikirannya kini benar-benar tersedot kepada sang ibu. Bagaimana jika orang-orang itu benar. Tidak, Dimas tidak sanggup harus kehilangan Sri.

Si sandera menatap tajam kepada lawannya. Angga memutar bola mata malas sedangkan orang di seberang sambungan--- Akh, Dimas ingin sekali menghabisi orang-orang itu.

"Latar belakangmu ternyata menarik juga, yah Dimas. Selain Noname, kamu pernah berteman dengan Rafael bahkan Rafael lah yang mengajarimu caranya bertarung."

Dahi Dimas berkerut. Laki-laki itu bicara apa?

Mona meneteng sebuah foto ukuran 4R di hadapan Dimas. Dimas tak bisa beralih dari potret laki-laki itu.

Tiba-tiba orang di balik layar ponsel tertawa pelan. "Aku lupa kamu tidak mengenalnya dengan nama Rafael, tetapi kamu pasti tidak asing dengan nama Dion,'kan? Dia ngga berbohong, kok. Namanya adalah Dionysus Rafael."

Bola mata Dimas mencelos. Kejutan apa lagi ini?

"K-kamu tahu dengan Dion?" tanya Dimas bergetar

Laki-laki yang di tanya menunjuk Angga. " Angga adalah Junior Rafael, benarkan Angga?"

Dimas seketika menatap kepada laki-laki yang dimaksud. Angga mendesah. " Terakhir kali bertemu dengannya tiga tahun yang lalu." Angga berdecih, " Dia masih sama menjengkelkannya."

Dimas setuju dengan pernyataan terakhir Angga.

Ban berdecit nyaring, laptop di tangan Angga ikut terjatuh, ia hampir saja kehilangan keseimbangan jika tidak sempat berpegangan pada dinding box, sementara Mona harus rela tubuhnya terjerembab, berakibat sambungam telepon ikut terputus. Dimas tersenyum miring menyaksikan dua orang tersebut berusaha bangkit.

Belum lagi menangkap situasi yang terjadi, tiba-tiba dentuman dahyat menghajar dari luar, diikuti dengan pintu box yang terbuka paksa. Sesosok gadis berpakaian serba hitam menerobos barisan para penembak sambil menyorot tajam kepada Angga dan Mona.

Asap akibat ledakan di pintu belum sepenuhnya hilang tetapi titik-titik kemerahan mulai menitik fokus ke tubuh keduanya. Dua orang itu diam tak berkutik, mereka di paksa berlutut dengan tangan di belakang kepala.

Dimas tersenyum miring kemudian berujar dengan nada dingin. "Lo lambat, Sue." Meski membelakangi, Dimas tahu gadis itu adalah sang pemimpin pasukan.

Beberapa personil masuk ke dalam box, gadis pemimpin kelompok segera memotong ikatan Dimas menggunakan pisau. " Dimas, ayo pulang!" Tatapan khawatir tergambar jelas di wajah jelita itu.

Sekarang gue ada di jalan melati, dari tadi ada yang ngikutin gue, cepat lacak keberadaan gue. Telepon ngga akan gue matiin.

Telepon dari Dimas beberapa waktu lalu membuat hatinya gelisah. Ia langsung mengerahkan pasukan untuk mencari keberadaan Dimas.

Tidak ada tanggapan berarti dari si pemuda. Ia menatap rekannya tanpa minat lantas melirik kepada dua penculiknya. Dia baru berekspresi saat mengetahui bajunya robek.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang