Detak jarum jam berbunyi pelan nenghantarkan suasana sunyi yang membuat Nimas terbuai. Gadis ini duduk di depan meja rias sambil menyapukan bedak ke wajah. Tubuhnya di sini tetapi jiwanya melayang. Mungkin ungkapan itu cocok untuknya saat ini.
Sebisanya gadis ini menyamarkan jejak tangis dengan riasan yang sedikit lebih tebal dari biasanya. Tetapi tatapan kelabu dan raut kesedihan tetap terpancar jelas di pahatan rupanya. Tangan Nimas terulur mengambil pelembab bibir saat suara sang nenek mengintrupsi dari luar kamar.
"Cu, kamu jadi ke galerinya Pak Wira?"
"Jadi kok Omah. Bentar lagi Nimas siap."
"Nimas, kamu baik-baik aja, kan?"
"Nimas baik kok, Omah." Fatma menggeleng pelan, nada bicara dan kalimat yang meluncur sangat bertentangan.
Nimas sudah begini sejak pulang sekolah. Gadis ini memilih mengurung diri di dalam kamar. Merenungi kejadian memalukan di kantin sekolah. Seandainya ia tidak ingat telah membuat janji bertemu di galeri Wira. Nimas akan terus begini sampai besok pagi.
Dari Angel dan Vino, Fatma mengetahui tentang sang cucu yang jatuh hati kepada adik angkatnya sendiri. Fatma mengerti perasaan Nimas tetapi juga tidak menyalahkan Dimas. Sebaliknya, perempuan renta ini mengapresiasi tindakan Dimas yang langsung menolak cinta Nimas.
Dengan Dimas menolak Nimas. Secara tidak langsung Dimas juga mempertegas perasaannya kepada Nimas. Bahwasana, pemuda itu menyayangi Nimas. Tetapi dalam konteks persaudaraan. Bukankah hubungan persaudaraan jauh lebih kuat dari apapun?
Fatma meyakini, Nimas salah dalam mengartikan perasaan yang tertanam untuk Dimas. Bukan ketertarikan kepada lawan jenis. Tetapi rasa cinta selayaknya saudara kandung. Fatma tahu itu, karena ia sendiri yang mengamati perkembangan keduanya. Lagipula, usia mereka masih sangat muda. Masih labil dalam menyingkapi sebuah hubungan romantis.
"Apa lebih baik kamu batalin aja perginya? Kayaknya kamu butuh banyak waktu untuk nenangin diri? Jam juga udah mau nunjukkin pukul empat sore."
Fatma tidak tahu yang terjadi di dalam sana. Tiba-tiba saja, telinganya menagkap suara kursi berdecit di susul dengan derap kaki yang memburu.
Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok gadis cantik dengan gaun putih sebatas lutut. Tampilannya makin dipermanis dengan ikat pinggang berwarna biru muda serta rambut panjang nan bergelombangnya dibiarkan terurai sembari diselipi jepit di sisi kanan dan kiri. Nimas melengkapi busananya dengan sepatu selop berwarna senada. Ia juga terlihat membawa tas selempang berukuran sedang yang dibiarkan menggantung di bahu sebelah kanan.
"Nimas udah siap, Omah!"
Nimas telah menunggu untuk hari ini. Tidak mungkin akan ia sia-siakan. Fatma menggeleng pelan. Ia lantas memutar kursi roda menuju lift. Sang cucu lalu mengambil alih kendali kursi roda Fatma, Nimas tidak akan tega membiarkan neneknya bersusah payah di usia rentanya.
"Masih mikirin Dimas?"
Nimas diam, hatinya berdenyut nyeri. Kenapa disaat hendak melupakan pemuda itu. Fatma kembali mengingatkannya?
"Nggak, kok." Nimas berdalih, ia lalu menekan tombol untuk membuka pintu lift. Lantas dengan cepat masuk bersama Fatma.
Keheningan menyapa keduanya, Fatma terus memerhatikan sang cucu.
"Kamu tahu Dimas kemana?"
"Nggak, Nimas nggak tahu."
Ingin sekali rasanya Nimas hilang dari peredaran. Sang nenek selalu saja membahas tentang Dimas. Tanpa sepengetahuan Fatma, bulir-bulir air kembali menggantung. Menyadari hal itu, gadis berlesung pipit ini cepat menyekanya sebelum luruh menjadi aliran sungai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...