38. Asa yang Bertentangan.

29 13 0
                                    


Suasana hati Nimas sudah benar-benar baik sekarang. Ia tidak lagi memikirkan tentang penolakan Dimas. Sehabis makan malam bersama Naufal, tak henti-hentinya gadis ini mengembangkan senyum. Setelah berbicara dengan Naufal, hatinya terasa lapang.

Menurunkan sedikit kaca jendela, Nimas membiarkan angin lembut menerpa wajah. Pandangan gadis ini tertuju ke jalanan. Kenapa Nimas baru menyadari pemandangan kota di malam hari begitu indah? Kelap-kelip lampu jalan yang berpadu dengan lampu kendaraan dan bangunan begitu memanjakan mata. Kalau begini, Nimas akan setia mempertahankan posisi.

Di dalam mobil ini hanya ada Nimas dan Tiwo. Mereka baru saja keluar dari komplek perumahan Angel. Sementara si empunya mobil sedang terpesona dengan keadaan luar. Si supir tetap fokus ke depan, sambil bergumam dan sesekali menggerakkan tubuh seirama musik dangdut.

Tidak terasa mobil melaju memasuki komplek perumahan. Nimas dapat melihat dengan jelas tugu pintu gerbang dengan tulisan besar di atasnya. Mengetahui dirinya akan segera tiba di rumah, gadis ini menutup kaca jendela dan duduk menghadap depan.

Sepuluh menit kemudian, mobil Avanza itu telah terparkir di garasi. Di sana, mereka mendapati dua kendaraan lainnya. Nimas tersenyum kecil. Kedua orang tuanya pulang cepat hari ini.

Gadis remaja ini menjelajah isi rumah. Kaki putihnya berhenti tepat di ruang keluarga. Di sofa, kedua orang tuanya tampak mengobrol akrab sembari menyaksikan perkembangan negeri dari layar televisi. Mereka sudah mengenakan pakaian santai yang mana Adnan memakai baju kaos dengan celana pendek sementara sang istri tampak menawan meski hanya menggunakan daster.

"Mama Papa kapan pulang?" Nimas berbasa-basi dan langsung berlari kecil menghampiri kedua orang tuanya.

Kesempatan kali ini tentu tidak akan pernah Nimas sia-siakan. Dorongan dari Naufal telah membulatkan tekad gadis itu. Rasa takut itu telah dibuang jauh-jauh, berganti keyakinan yang teramat besar. Nimas akan melakukannya sekarang. Jarang-jarang Adnan dan Widia pulang cepat.

"Nimas? Sini, Nak!" Kebetulan sekali sesaat mereka bersitatap, Widia langsung berseru. Begitu pula Adnan yang mengalihkan perhatian kepada si tunggal.

"Habis main di rumah Angel?"

Sang ibu mengelus-elus kepala Nimas. Merapikan anak-anak rambut yang menjuntai. Senyum di bibir wanita itu tidak pernah pudar.

Nimas membalas senyum dari Widia. Meskipun tidak mengerti yang dibicarakan sang ibu, Nimas memilih mengangguk.

"Ya sudah, kamu mandi terus makan malam. Setelah itu temui papa dan mama di sini."

Sebenarnya hati Nimas tidak mau membuang waktu. Tetapi, anggota badannya malah menuruti titah sang ibu. Setelah mengangguk, gadis ini melanglang pergi menuju kamar.

Fatma yang melihat interaksi tersebut tersenyum. Bukan, bukan senyum hangat nan tulus yang biasa ia tampakan. Sebelah sudut bibirnya di tarik lebih dalam sementara tatapan perempuan tua itu terlihat sayu.

***
Gadis berambut panjang dan bergelombang ini perlahan menuruni tangga. Ia terlihat lebih segar setelah mandi dan berganti kustom tidur. Lantas langkah kakinya mengarah ke ruang keluarga. Ternyata kedua orang tuanya masih setia di depan televisi. Sekilas melirik ke jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Nimas mendekat kepada Adnan dan Widia.

"Ma, Pah ...!"

Panggilan lirih dari Nimas seketika merebut atensi sepasang suami-istri itu. Widia langsung menyambut Nimas dengan senyum mengambang. Adnan melakukan hal yang sama, hanya saja ia tidak seantusias sang istri dan segera beralih ke layar datar jendela dunia.

"Sini, Nak. Ada yang mau mama dan papa omongin sama kamu." Widia menepuk-nepuk sofa diantara dia dan suami.

Benar-benar sebuah kebetulan. Nimas mengaguk patuh. Lantas gadis cantik ini menghempaskan bokong diantara orang tuanya.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang