18. Filosofi Arak.

61 19 0
                                    

Laksana angin berhembus, suara lirih nan menghanyutkan di depan sana tidak sama sekali didengarkan oleh gadis berceruk pipi tersebut. Mungkin tidak hanya dia, tetapi hampir seluruh siswa dikelas. Guru perempuan itu menjelaskan dengan pelan, terkesan mendayu-dayu dan pasif. Membuat hampir sebagian siswanya mengantuk.

Meskipun demikian tetap saja ada yang masih bertahan memerhatikan namun ada pula yang sudah terbuai alam mimpi dan kalian pasti sudah tahu mereka adalah anak-anak yang duduk di kursi barisan belakang, aksi mereka disukseskan dengan buku yang sengaja didirikan. Tetapi ada juga golongan yang memillih mengalihkan perhatian dengan saling berbisik, memainkan alat tulis dan adapula yang mencoba mengelabui guru dengan pandangan lurus kedepan namun pikiran entah terbang kemana.

Gadis itu juga melakukan salah satu diantaranya. Garis matanya lurus kedepan dengan dagu dipangku dengan tangan ia sedari tadi memerhatikan punggung seorang pemuda yang duduk dibarisan depan. Entahlah, Nimas sangat merindukan sosok biang onar itu.

Pemuda itu tidak seperti biasa, mungkin dari balik punggung Nimas tidak melihat gurat yang tercipta, namun ia yakin betul pemuda bertitik hitam dibawah mata kiri itu sedang gundah gulana. Ia sudah seperti ini sejak kembali ke sekolah, tepatnya dua hari yang lalu.

Sementara di depan kicauan guru masih berbunyi, sama seperti Nimas ia juga memperhatikan tingkah siswa yang tepat berada didepannya. Entahlah setiap kali ia mengajar dikelas ini terbesit rasa takut terhadap siswa tersebut. Ia menarik napas pelan. Bersiap mengucapkan kalimat paling menakutkan namun wajib ia tanyakan.

"Apa semua paham?" Dari balik hijab rupa-rupanya peluh dingin telah merembes, menciptakan warna lebih gelap pada hijab cokelatnya. Guru bertubuh mini ini lantas mencuri lirik ke pada Dimas. Ia sedikit tertegun, pemuda itu diam ia masih fokus ke buku.

Murid-murid yang lain juga tidak ada yang mengajukan pertanyaan, entahlah apa sudah mengerti atau tidak tahu harus bertanya apa.

Si guru masih tertuju pada Dimas. Namun, sepertinya yang jadi objek tidak menyadari hal itu, ia tetap nenunduk. Terpaku pada buku.

Tidak ada yang bersuara, hanya denting jarum jam sebagai lagu latar.

Ini pertama kalinya. Dalam hati ia bersorak gembira.

"Baik, jika sudah mengerti semua. Ibu akan tunjuk salah satu dari kalian untuk mengerjakan tugas di papan tulis." Cekatan ia berbalik badan lantas spidol hitam ditangan kanan menari-nari di papan tulis putih menciptakan goresan tangan yang indah dan rapi. Namun, menjadi momok menakutkan bagi sebagian siswa, tepatnya bagi mereka yang tidak mengerti dengan materi yang dibahas.

Aneh, meski merasa senang tetapi dia merasa ada yang kurang, romur tentang anak itu telah menyebar dikalangan para guru. Kasihan, satu kata mendefinisikan. Semoga saja anak jenuis itu bisa kembali ceria seperti dulu.

Berbicara dengan kejeniusan Dimas, sang guru perempuan itu mengenang saat pemuda itu berulah.

"Bu, apakah ada DNA binatang yang hampir sama dengan DNA manusia?" Ya .. waktu itu sangat kebetulan pelajaran yang dibahas adalah mengenai pewarisan sifat. Apalagi jika tidak berhubungan dengan gen, DNA, kromosom dan antek-anteknya.

"Ada, DNA simpanse, 98% mirip dengan DNA manusia."

Dimas mengangguk-angguk. "Pantes ya bu, apalagi simpanse itu diklarifikasikan sebagai binatang jenius." Dimas tersenyum. "Jadi bu ... apa yang akan terjadi jika DNA manusia digabung sama DNA simpanse. Apa akan menghasilkan jenis simpanse yang mewarisi sifat manusia atau sebaliknya manusialah yang mewarisi sifat simpanse?"

Sang guru dibuat cengo oleh pertanyaan yang meluncur bak air terjun tersebut. Dimas si biang kerok memasang tampang penuh harap semakin membuat gurunya kelimpungan.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang