4. Si kamera bernyawa.

143 38 71
                                    

Untung saja setelah malam itu dipagi harinya Ibu kembali sehat. Dia bisa kembali bekerja. Meskipun pekerjaan Ibu hanya buruh cuci dan gosok tapi itu lebih dari cukup memenuhi kebutuhan kami selama Bapak tidak pulang dan merampas semua uang Ibu.

Namun sebagai efek kelelahan dan berkali-kali dipukul hari itu. Keesokan harinya malah aku yang jatuh sakit.

Selama tiga hari penuh tubuhku terasa berat, kepala seperti dihantam godam, linu diseluruh bagian tubuh, serta panas dan dingin yang datang bersamaan. Huh, sempurna sudah penderitaanku.

Ibu, tentu saja dia kelimpungan. Aku makin tidak enak hati dengannya. Ibu harus tetap bekerja sambil merawatku. Untung saja para tetangga yang menggunakan jasanya mengerti, jadilah Ibu bisa mencuci dirumah.

Hari ini untuk pertama kalinya setelah sakit selama tiga hari aku kembali ke sekolah. Jika dikata aku sudah pulih benar. Jawabannya tidak! Beberapa bagian tubuh masih terasa sakit. Belum lagi, rasa pening masih menjalar dikepala. Namun, kondisiku jauh lebih baik daripada hari pertama sakit.

Tidak mungkin terus merepotkan Ibu, meski dia tulus dan terlihat sabar saat merawatku. Namun, aku tahu! Di belakang dia sangat menghkawatirkan keadaanku. Setiap malam saat seharusnya ia terlelap. Ibu sholat malam dan berdo'a kepada Tuhan agar semua penyakit yang kuderita beralih saja padanya. Aku tahu itu karena isakan yang keluar dari bibirnya selalu membuat terjaga.

Bisa bersekolah saja adalah sebuah karunia yang besar,paling tidak dengan bersekolah aku membuat Ibu senang.

"Kamu yakin mulai sekolah hari ini?" Ibu bertanya tapi atensinya tidak kepadaku yang sedang memakai sepatu. Dia sibuk memasukkan nasi lauk telur kecap kedalam benda berbentuk kotak dengan tutup bergambar kartun sponge berwarna kuning.

"Yakin dong, Bu. Dimas'kan udah sehat." Aku berkata sambil mengembangkan senyum.

Ibu telah selesai dengan urusannya. Kotak bekal itu juga telah masuk ke dalam ransel merah muda bergambar tokoh kartun anak perempuan beserta sahabatnya, monyet bersepatu bot merah. Sudah jangan ditanya mengapa aku, anak laki-laki bisa mempunyai tas seperti itu!

Ibu memakaikan ransel tersebut kepundakku, lalu menyentuh dahi dengan punggung tangannya.

"Udah mendingan, sih tapi masih panas sedikit. Kamu yakin sekolah hari ini?" Ibu, dia masih saja menghawatirkan keadaanku.

"Udah ngga papa kok, Bu. Cuman panas dikit sama pegel dikit. Dimas sekolah aja." Aku kembali mengembangkan senyum.

"Dimas ...!" Tepat saat aku menyelesaikan kalimat terdengar dua suara dua bocah laki-laki dari pintu depan. Mereka Andi dan Algi tetangga sekaligus teman bermainku. Mereka memang lebih tua dariku. Andi 10 tahun dan Algi 12 tahun tapi aku bisa berteman akrab dengan mereka.

" kak Algi sama kak Andi udah jemput," ujarku. Ibu menarik napas pelan. Dia lantas menuntunku ke pintu depan.

"Eh ada Andi sama Algi," ujar Ibu ramah.

"Dimas sekolah'kan hari ini?" Algi bertanya yang diangguki Ibu.

"Iya Dimas sekolah. Padahal belum sembuh total. Kalian mau'kan jaga Dimas?" Aku mendongak kearah Ibu, dia tersenyum kearah Andi dan Algi.

"Siap,  Komandan!" Sentak Andi dan Algi berdiri tegak dan hormat kepada Ibu.

Ibu terkikik melihat kelakuan dua sahabatku itu. Sedangkan aku memasang wajah cemberut.

"Ibu, Dimas ngga perlu dijagain!"

Aku, Andi dan Algi bergantian menyalami punggung tangan Ibu. Setelah mengucapkan salam kami mulai melangkah beriringan.

"Sepi tahu tiga hari ngga ada lo." Algi mulai bicara dia merangkul pundakku.

"Sepi karena Dimas ngga masuk atau sepi karena ngga ada yang ngerjain PR lo?" celoteh Andi yang mendapat tatapan tajam dari Algi.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang