Hari ini setelah pulang sekolah minta izin main bersama teman-teman di gang sebelah kepada Ibu. Nyatanya malah ikut Andi dan Algi pergi ke pasar.
"Lo yakin ikut kita lagi?" Andi bertanya. Hey, mimik muka macam apa yang dia tampakkan? Dia menatap iba kepadaku. Tunggu, ngga! Cemas? Lho, Bukan ... bukan ... takut? Eh ... bukan juga! Mimiknya seperti ... entahlah aku tidak bisa menyimpulkan ekspresi yang terlukis, namun jelas sangat tidak enak dipandang!
"Yakinlah!" ujarku pasti.
"Gegara kejadian hari itu yang lo ngilang, tau-taunya lo digebukin sama anak-anak preman. Asal lo tau yah ... kita bedua capek cariin lo. Muter keliling pasar sampe malam. Mana hari itu hujan lagi. Ditambah pulang kerumah pengang telinga gue diomelin Emak." Algi berujar. " Mending lo ngga usah ikut deh, nanti dipalak lagi sama anak-anak begajulan itu. Gue ngga mau lo kayak gitu lagi."
Eh, ini benar Algi yang bicara?
"Kami juga udah diwanti-wanti sama Mbak Sri biar ngga bawa lo ke pasar lagi. Dah lo pulang aja!"
Ngusir nih ceritanya, Bos?
"Betul tuh kata Andi, dah lo pulang aja. Nanti ketemu lagi kok pas ngaji abis magrib pulangnya gue traktir telungnya Mang Basir, gimana?" Algi berujar sambil mengacak puncak kepalaku. Ah, ya ... ini salah satu kebiasannya untuk mendapat persetujuanku.
"Dahlah, lo duluan aja, Gi! Biar Dimas gue yang anter pulang." Andi meraih pergelanganku lantas mulai menariknya.
Tentu aku tidak tinggal diam, cepatku hempaskan pergelahan hingga pegangan Andi terlepas. "Ngga! Lagian kita udah sampe di pasar."
Aku menunjuk pintu gerbang dengan tulisan besar yang berada diseberang jalan. Algi dan Andi cengo dibuatnya. Lihatlah! Mulut mereka terbuka sangat lebar. Hingga bisa diibaratkan seperti gua yang menganga. Aku terkikik lantas menenguk kiri dan kanan. Merasa sudah aman, langsung saja menyeberang.
"Dimas!"
Aku mau mengoreksi sebuah kesalahan. Yang sebenarnya terjadi adalah aku memaksa ikut mereka. Kenapa? Sudah terjawab, bukan?
Aku sudah minta baik-baik. Merayu khas anak-anak yang mengandalkan wajah imutnya. Sampai pura-pura merengek. Tetapi tetap saja dua sahabatku itu keukeuh berkata 'tidak!' Apa aku salah memilih sahabat, yah?
Jangan sebut aku Dimas jika tidak dapat solusi. Diam-diam aku mengikuti mereka dari kejauhan. Mengendap dan menjaga jarak agar tidak ketahuan. Namun seperti pribahasa sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai-pandai aku bersembunyi gara-gara tukang ojek rese yang lagi mangkal berseru 'Bocah, temen lo pada ketinggalan satu!' Algi dan Andi langsung menoleh dan aku ketahuan.
Adegan selanjutnya terjadi seperti yang diatas. Mereka berdua tidak sadar mengoceh panjang lebar sambil berjalan dan tahu-tahu sudah sampai di pasar. Sebenarnya jarak antara gang tempat kami tinggal dengan pasar hanya sekitar satu kilometer. Jadi wajar tiga bocah ingusan ini bisa sampai ke pasar hanya dengan berjalan kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.]
ActionDimas:From zero to Villain Drama-Psikologikal-Action WARNING, BEBERAPA BAB BERKONTEN 18+ HARAP BIJAK DALAM MEMBACA. Disarankan untuk membaca cerita ini jangan loncat-loncat jika tidak maka siap-siap tidak mengerti jalan ceritanya. Dendam itu laksana...