1. Terlambat

115 20 3
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Terlambat

"Teman lama akan ia lupakan dan hilangkan karena kehadiran orang baru yang tak lama akan berujung penyesalan." —Nisya Raina Sahda

Sinar mentari pagi menghangatkan nuansa alam yang terlihat cerah. Bunga-bunga bermekaran, pepohonan menggugurkan daunnya. Menjadikan pesona pertiwi bagaikan diterpa musim gugur. Keindahan alam sekitar mencuci mata manusia yang masih terlelap dalam tidur.

Kidung nyiur-nyiur kicauan burung menari dan menghiasi kaki-kaki langit. Embun kabut mulai turun dari ketinggian. Jauh ribuan mill di bumi sana, diuara dengkuran dua orang gadis terdengar nyaring dari balik kamar. Menampilkan kedua gadis cantik yang masih tertidur lelap memeluk gulingnya masing-masing.

Kriiinggg!

Bunyi nyaring bergema dari arah kamar. Itu adalah alarm yang berdenting, bertugas sebagai pengingat dan pembangun kedua anak gadis itu agar terbangun dari alam mimpinya. Namun sayang, alarm tersebut tak henti-hentinya berdenting hingga menciptakan polusi suara di dalam rumah.

"Nisya! Kisya! Matiin alarmnya!" Suara melengking menggelegar menyusup dari lantai bawah. Seorang wanita cantik dengan balutan hijab terpasang di kepalanya tengah berteriak dengan kencang.

Bruk!

Pintu kamar terbuka nyaring dan kasar. "Ya ampun belum pada bangun juga ini anak gadis," gerutu Aqila membuka selimut yang sempat terpasang di tubuh anaknya. "Bangun, bangun! Udah siang. Kalian enggak akan sekolah, hah?" Aqila menggoyangkan badan sang anak.

"Jam berapa sih emangnya?" tanya Nisya yang sudah mulai terbangun setengah sadar.

"Jam tujuh kurang seperempat."

Nisya berdecak. "Ish, baru jam tujuh, Bun. Aku kira udah jam dua belas. Dah ah ngantuk aku." Dengan seenaknya, Nisya kembali menarik selimut.

Aqila mendengus geram. Sudah menjadi santapannya setiap hari berusaha membangunkan kedua anaknya yang benar-benar badgirl. Hanya dua pilihan, siraman air atau mereka tidak masuk sekolah.

"Pinter! Baru juga hari pertama masuk, udah kebluk. Bunda masukin kalian ke pesantren, ya. Bunda telepon dulu," ancam Aqila lalu mengeluarkan satu buah handphone miliknya.

"Ehhh jangan, Bun, jangan! Iya, iya aku bangun."

Tiba-tiba saja, Nisya terbangun pesat dari tidurnya. Meski masih tercetak kantung kantuk di matanya, tetapi matanya sedikit fresh dari sebelumnya. Entah kenapa setiap mendengar kata 'pesantren' dia begitu ketakutan. Namun, hanya dengan ancaman inilah mereka bisa terbangun dan pergi ke sekolah.

"Mandi cepet!" tegas Aqila berlalu ke luar kamar.

Nisya terduduk di atas kasur seraya mengembuskan napasnya dengan lega. Dadanya sedikit terengah-engah selepas bangun tidur langsung terperanjat. Akan tetapi, sekarang dia lebih tenang dibandingkan ancaman mencekam tadi terlontarkan.

"Kis, Kis, bangun!" Nisya mengguncang tubuh sang adik yang masih tertidur.

"Ihhh, apaan sih? Ganggu tau," decak Kisya menutup telinganya dengan bantal.

"Kita dikirim ke pesantren maemunah!" gertak Nisya kencang, seketika membuat badan Kisya terpental cepat.

Kisya mengucek-ucek matanya yang masih berkunang-kunang. Napasnya terengah-engah mendengar gertakan Nisya yang sungguh menyeramkan. "Enggak, gue enggak mau masuk pesantren. Bisa-bisa gue jadi salihah," gumamnya.

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang