29. Rasanya Sakit, Bun

18 8 1
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Rasanya Sakit, Bun

"Ketika melawan tapi menyulitkan, namun bertahan pun membuatku kesakitan."

"Heh, ginjal lo mau gue sentil, hah?!"

Nisya mendengus kasar saat Fadhil terus merecokinya sejak tadi, padahal kali ini Nisya sedang dikejar waktu. Tinggal lima belas menit lagi bel pelajaran dimulai, tapi dia belum mengerjakan tugas satu soal pun yang diberikan oleh Bu Rani. Mungkin untuk tugas lain ia berani absen, tetapi kalau sudah ada hubungannya dengan guru BK itu, Nisya angkat tangan.

"Ayo, dong, Nis. Please! Sekali aja bantuin gue," paksa Fadhil setengah memohon.

"Ogah."

"Kenapa lo enggak mau?"

"Enggak ada waktu."

Fadhil menghela napas dalam sambil menyentil kening Nisya dengan keras, membuat Nisya mengaduh kesakitan. Tanpa ampun, Nisya yang sudah kehilangan asupan kesabarannya pun langsung menggetok kepala Fadhil menggunakan botol aqua yang ada di atas meja sebanyak tiga kali.

Satu sama!

"Lo jadi murid baru aja songong banget, ya," komentar Nisya.

"Ya elah, sok sibuk banget, sih, Nis. Kek anggota DPR lo," cibir Fadhil mencebikkan bibirnya.

Suasana di perpustakaan masih sangat sepi, hanya ada Nisya dan Fadhil di dalamnya. Sebenarnya niat Nisya datang ke perpustakaan adalah untuk mengerjakan tugas yang diberikan Bu Rani dengan mencontek catatan Lala. Namun, entah mengapa beberapa menit kemudian Fadhil datang dan terus memaksa Nisya untuk bekerja sama menghancurkan Kisya. Jelas Nisya menolak, dia tak sekejam apa yang orang lain kira. Mana mungkin dia berani membuat sang adik celaka dengan tangan culasnya.

"BENER-BENER YA LO!"

Nisya membanting pulpen dengan kasar saat Fadhil mencolek pipinya seenaknya, membuat Fadhil agak terkejut melihat wajah Nisya yang sudah memerah dan mendidih. Fadhil meneguk air ludahnya kesusahan ketika Nisya bangkit berdiri dengan tangan yang terkepal penuh.

"Sekali lagi lo ngomong, gue sumpal tuh idung pake kain kafan!"

"Lah, gue mati dong."

"Nah, kan, berani ngomong lo." Nisya melipat seragamnya hingga sikut, bersiap meninju cowok itu mati-matian. "Sini lo, gue sikatin tuh ususnya biar bersih!!"

Fadhil mundur tiga langkah, menjauhkan tubuhnya dari amukan macan betina itu. Nisya semakin mengecam pergerakan Fadhil hingga akhirnya buntu karena membentur tembok. Fadhil mengumbar senyum sok akrab, mencoba mendinginkan hawa panas yang kini berjalan di sekujur tubuh Nisya.

"Wedeh, sabar Bosque. Kita bisalah pake jalur damai, iya enggak?" rayu Fadhil menyengir ketakutan.

"Apa lo damai-damai?" sembur Nisya mengangkat gumpalan tangannya ke udara.

"Siniin mata lo!" suruh Nisya.

Fadhil mengerutkan dahinya. "B-buat apa?"

"Gue mau tabok biar mata lo insaf," ucap Nisya dengan asal.

Tubuh Fadhil semakin bergetar hebat melihat amarah Nisya yang kian mengepul di ubun-ubun. Sejantan-jantannya Fadhil, tak akan sanggup menghadapi cewek itu kalau sudah benar-benar marah. Mempunyai nyali pun langsung ciut seketika.

"Nisya cantik, baik, pinter--" Rayuan Fadhil tiba-tiba terhenti.

"Bacot lo!" sela Nisya menabok pipi Fadhil dengan telapak tangannya. "Siniin matanya gue bilang! Gue sisirin tuh mata biar tengkurep. Bejat mata lo itu, suka liatin cewek ganti baju di kamar mandi, kan?!"

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang