HAPPY READING
.
.
.Yah, Sakit Hati Lagi
"Jangan pernah mau menjadi orang lain. Karena orang lain pun belum tentu mampu menjadi kamu."
Nisya membelalak terkejut oleh kejadian sial ini. Dia menutup mulutnya dengan rapat, sesekali melirik tipis pada Adnan dan Aqila yang sudah mengeraskan rahang dan mengepalkan tangannya penuh. Sementara kelima kawannya hanya bisa mematung, tak mampu berkutik melihat kedua orang tua Nisya yang sudah berapi-api.
Suara derap langkah disertai napas memburu memasuki indra pendengaran Nisya. Ia menoleh, jantungnya seketika berdesir kencang tak karuan kala Aqila menghampirinya dengan menajamkan tatapannya seperti elang yang siap melahap mangsanya mati-matian. Langkah Aqila kian mendekat, membuat Nisya menelan ludahnya dengan kasar.
Aqila menghentikan langkahnya, lalu menurunkan pandangannya menatap nyalang bercak hitam yang tercetak jelas di karpet putih tersebut. Dia kemudian menggeser tatapan tajamnya pada Nisya, membuat putrinya tak bisa berkata-kata.
"Bu-bunda. A-aku, minta--" Pembelaan Nisya terpotong tatkala Aqila menyambarnya secepat kilatan halilintar.
"Udah berapa kali bunda bilang, jadi anak tuh yang nurut sama orang tua!!! Siapa yang nyuruh kamu lari-larian, hah?! Siapa?! Kamu punya mata, kan?! Liat sekeliling tuh ada barang apa enggak?! Jangan main terobos aja!!" bentak Aqila dengan suara membahana.
"Ki-Kisya yang suruh, Bun," ucap Nisya terbata-bata sambil menunjuk Kisya yang mematung di ambang pintu.
"Enggak usah salahin orang! Salahin diri kamu sendiri! Kamu liat ini?" Aqila menunjuk noda hitam yang menempel di karpetnya, "ini hadiah dari nenek kamu buat kita! Apa kamu enggak bisa menghargai pemberian nenek sedikitpun, hah, Nisya? Enggak bisa, iya?! Terus kamu itu becusnya jadi apa, hah? Kenapa, sih, kamu tuh selalu aja buat bunda marah?! Liat adik kamu, dia selalu buat bunda bangga, bukan marah-marah kayak gini!"
Seolah jantungnya dihantam begitu keras, Nisya sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun dari bibirnya. Lidahnya terlalu kelu untuk membeberkan betapa sakit hatinya saat ini. Namun, bungkam dan diam adalah pilihan terbaik daripada melawan, tapi justru menambah beban.
Melihat sang anak hanya tertunduk diam, amarah Aqila seakan dirangsang untuk kian menggelora. Wanita itu mengangkat kepalan tangannya yang hampir saja memukul kepala Nisya jika Adnan tidak buru-buru menahannya. Adnan memeluk sang istri dengan erat, mendamaikan gejolak api yang kini membara di seluruh jiwa raga Aqila yang sudah buta oleh amarah.
Tak sanggup oleh dobrakan air mata, akhirnya setetes cairan bening menitik dari pelupuk mata gadis itu. Kenapa dadanya pun jadi ikut sesak seperti ini? Benar kata orang, luka fisik tidak berarti dibandingkan luka batin yang jauh lebih sakit.
"Nisya, minta maaf sama bunda!" suruh Adnan dengan suara menyentak.
Nisya mengangkat kepalanya, matanya sudah berderai air mata, atmosfer kediaman mereka mendadak menegang oleh keributan yang mereka lakukan. Nisya menghela napas, lalu mengusung senyum pada Aqila dan Adnan.
"Bunda, ayah, Nisya minta maaf, ya, udah buat bunda sama ayah marah," lirih Nisya berusaha tersenyum walau hatinya menjerit kesakitan.
"Udah, itu doang?!" timpal Aqila semakin mempertajam kemarahannya.
Terus, Nisya harus ngelakuin apa lagi, sih, Bun? Nisya capek, Bun, capek banget kalau bunda mau tau.
"Ya udah, Nisya bersihin karpetnya aja, ya." Nisya bangkit berdiri sambil mengusap wajahnya kasar. Ketika dia hendak menggulung karpet, suara lirih Aqila yang bercampur air mata lebih dulu menginterupsi pergerakan Nisya.
"Enggak perlu."
Nisya menoleh sembari berkata, "Kenapa? Katanya bunda enggak suka karpet bunda kotor. Ya udah, Nisya bersihin sampe bersih. Sampe ilang kotorannya, sampe bunda ketawa lagi. Boleh, kan?" tutur Nisya memijat dadanya, menyumpal rasa sesak yang tambah mendominasi di serambi jantungnya.
"Bunda cuman pengin kamu jadi anak yang berbakti, Nisya. Enggak lebih. Susah, ya, jadi anak baik? Enggak bisa ngejalanin itu? Inget kata-kata bunda, Nisya! Jangan jadi anak nakal!"
Setelah mengucap pesan terakhirnya untuk Nisya, wanita bernetra hitam pekat dan alis tebal itu melenggang jauh di bawah tuntunan Adnan. Mereka menaiki tangga, dan perlahan punggung mereka hilang dari pandangan Nisya. Nisya menghela napas dalam, menggusur tangisnya agar tak tampak dilihat kedua sahabatnya. Dia hanya tak ingin orang lain tahu betapa sakitnya menjadi dia. Ia juga tak ingin orang lain tahu tentang kehidupan keluarganya yang jauh dari kata tersenyum.
Inilah Nisya, gadis hebat dan kuat yang menutupi lukanya dengan cara bersaing dan berdebat.
Melihat sahabatnya dalam keadaan merana, Dita dan Putri pun melangkah menghampirinya, kemudian duduk di samping Nisya yang menatap lurus pada titik hitam yang mencalit karpet putih itu.
"Lo yang sabar, ya, Bos. Gue sama Dita bakal ngejagain lo terus, kok. Kita bakal selalu ada buat lo," tandas Putri merangkul pundak Nisya.
"Yoi, dong. Kita bakal lewatin masa-masa ini bareng-bareng yaw," imbuh Dita merangkul bahu Nisya di sisi yang berbeda.
Nisya menatap bergantian kedua perempuan berhati mutiara itu. Ia tersenyum rekah, membawa tubuh mereka ke dalam pelukan persahabatan. Sesungguhnya, inilah persahabatan yang indah, bersama-sama menerjang keganasan di ruang dunia.
"Thanks, ya. Lo berdua emang best friend gue banget," puji Nisya menggigit bibir bagian bawahnya dengan kuat. "Oh, iya, lo juga enggak perlu khawatirin gue. Udah kebal mental gue mah ngadepin bunda. Malahan nih, ya, sehari aja bunda enggak nyentak gue, rasanya tuh kek ada yang kurang," sambungnya sambil tertawa.
"Siap, Komandan! Perintah dilaksanakan," tegas Putri dan Dita kompak seraya memberi hormat.
"Lebay lo."
Dan tawa mereka pun kembali meroket seolah tak ada ganjalan luka yang membenam di hati Nisya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKISYA [END] ✓
Teen FictionBersaing sama musuh❎ Bersaing sama kembaran sendiri✅ "Tidak ada kata menyerah sebelum ada yang kalah." Begitulah semboyan Inbreeding dalam kisah ini. Bagi dua gadis kembar bernama Nisya Raina Sahda dan Kisya Raiqana Sahida, persaingan serta pertarun...