22. Putri dan Sejuta Rahasia yang Ditutupi

13 8 0
                                    

Putri dan Sejuta Rahasia yang Ditutupi

"Butuh tugas telepon teman. Giliran enggak butuh, pada ke mana?"

Dita dan Putri segera keluar dari ruang UKS dengan langkah secepat kilat untuk mencari bantuan, sementara Kisya berusaha membangunkan Nisya dengan mengguncang tubuh gadis itu sekuat mungkin. Bisa jadi, kan, kalau Nisya hanya pura-pura pingsan? Namun, untuk kali ini pikiran Kisya tak sampai ke arah sana.

Langkah Dita dan Putri berhenti tepat di depan ruang guru. Keduanya saling bertukar pandang sambil mengerutkan sebelah alisnya karena pintu ruang guru yang tertutup rapat, dan tak terdengar suara sedikitpun. Sunyi. Mereka pun mengintip dari celah jendela, menampilkan hampir sebagian guru yang tengah terduduk di meja bundar tengah mendengarkan penuturan kepala sekolah yang berdiri di tengah-tengah mereka.

"Tuh guru lagi kosidahan, ya? Khusyuk amat," gumam Dita diam-diam membuka pintu.

"Heh!" Putri menoyor kepala Dita "Itu lagi pada rapat. Begonya di-pending dulu, ya, Sayang. Si Nisya lagi pingsan, nih."

Dita menghela napas panjang. "Ya udahlah, balik lagi, yuk!" ajak Dita.

"Lah, terus kita mau minta bantuan siapa? Lo mau gotong si Nisya sampe rumah sakit?"

"Dih, ogah. Pulang-pulang bisa diurut gue."

"Ya udah, mangkanya lo diem dulu. Sabar, dong, ah."* Putri menyilangkan tangannya di dada, sedangkan Dita duduk sila sambil bersandar di depan tembok.

Waktu semakin berputar. Tak terasa, sudah lima menit mereka menunggu, tapi rapat tak kunjung usai. Putri yang terlanjur panik akan kondisi Nisya di ruang UKS, lantas memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Awalnya, Dita sudah melarang karena risikonya besar. Namun, atas dasar persahabatan, ia siap menanggung apa pun ancamannya asal Nisya bisa segera ditangani.

Putri menghela napas panjang, dia kemudian mengangkat kepalan tangannya ke udara, mencoba rileks untuk mengetuk pintu. Mati enggak, ya, kalau gue ketok? Sempat berpikir sejenak, tetapi akhirnya Putri berhasil membasmi rasa canggungnya untuk mengetuk pintu ruang guru dengan lantang.

Tok, tok, tok!

Atensi para guru yang semula fokus pada papan presentasi seketika goyah saat pintu ruang guru terketuk. Salah satu guru meminta izin pada kepala sekolah untuk membukakan pintu, sebab takut kalau itu adalah tamu penting. Guru laki-laki berambut hampir memutih itu membukakan pintu dengan alis yang terangkat.

"Iya, ada apa, ya? Tolong jangan ganggu dulu. Kami sedang ada rapat," ucap guru itu, kemudian berbalik badan, tapi langkahnya langsung terhenti saat Putri menggapai lengan guru itu dengan erat.

Dita melirik name tag bertulis 'Arul Gunawan' yang tersimpan di sebelah kanan kemeja putih guru tersebut. Ia mengangguk pada dirinya sendiri, bahwa dia dapat menyimpulkan nama guru tersebut adalah Arul Gunawan, atau panggil saja beliau Pak Arul.

"Tunggu, Pak, in—" Ucapan Putri terhenti ketika Dita tiba-tiba menginjak kakinya. "Apaan, sih, Dit?" bisik Putri geram.

"Pak Arul namanya," bisik Dita membuat Putri mengembuskan napas kasar.

"Ini penting, Pak. Temen saya pingsan di UKS, Pak," kata Putri memberi tahu.

Pak Arul sontak terkejut mendapat kabar kalau ada siswa yang pingsan di ruang UKS. Tanpa basa-basi, beliau pun bergegas lari menuju ruang UKS, karena tak mau mengulur-ulur waktu yang membuat keadaan Nisya makin memburuk. Namun, saat mereka sampai di sana, suasana ruang UKS terlihat sepi, tak ada satu pun orang yang berada di dalamnya. Mereka mengedarkan pandangannya, hanya ada Aira—petugas PMR yang baru saja masuk sembari membawa kotak P3K di tangannya.

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang