39. Kisya dan Kecurigaannya

5 4 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Kisya dan Kecurigaannya

Satu Minggu bukanlah waktu yang sebentar jika dihabiskan Kisya untuk beristirahat tanpa beraktivitas apa pun selama masa pemulihan itu berlangsung. Seminggu Kisya tak masuk, seminggu pula sekolah terasa angker tanpa keributan ataupun pertengkaran di antara kakak-beradik itu. Hidup Nisya di sekolah pun jauh lebih monoton dibanding dengan hari-hari biasanya apabila Kisya turut hadir mengisi kehidupannya. 

Namun, hari ini SMP Antariksa tidak akan merasa hampa lagi. Sebab kedua primadona sekolahnya telah kembali untuk berulah.

"Ayo, dong, Nis. Please ... boleh, ya? Ya? Ya? Please ...," ucap Kisya memohon-mohon sambil terus mengekori Nisya dari kantin sampai ke koridor atas. 

Nisya menghentikan langkahnya, menatap mata Kisya begitu tajam. "Sekalinya ada, rese, ya, lo," sebal Nisya dengan nada menyentak.

Kisya berdecak. "Ya elah. Ayo, dong. Gue pinjem sepuluh ribu doang. Gue mau jajan, laper," katanya memegangi perutnya yang terasa keroncongan. 

"Tuh uang lo ke manain, sih? Lo telen, hah? Apa lo kunyah tuh duit?" Nisya menggerutu.

Padahal pagi tadi sebelum berangkat sekolah, Nisya melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri kalau Aqila memberikan selembar uang berwarna hijau pada adiknya itu. Lantas, ke mana uang itu menghilang?

"Uang gue ... euh ... anu ... uang gue ... duh gimana, ya, jawabnya. Anu ...." Kenapa rasanya pikiran Kisya seolah kehilangan kata untuk sekadar menjawab singkat pertanyaan mudah Nisya? Dia hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil terus mencari jawaban yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Nisya.

"Una anu una anu aja lo bisanya," beo Nisya yang sebetulnya bukan tertawa, tapi lebih menjurus ke arah marah. 

"Intinya, uang gue udah abis." Kisya menyimpulkan. "Mana uangnya? Siniin," sambungnya mengasongkan tangan.

"Dih, ogah."

"Ih, ayo dong. Gue mau beli penyerut."

Nisya menoleh pada Kisya, mengernyitkan alis bingung. "Buat apa?"

"Buat nyerut bibir jeding lu!" sembur Kisya menabok pelan pipi sebelah kanan Nisya.

"Kurang ajar." Tak terima, Nisya kemudian membalasnya dengan menjambak rambut Kisya yang terkucir rapi dengan berapi-api.

Hingga tak lama kemudian, surai legam yang semula terkucir satu membentuk pola buntut kuda tersebut, harus hancur berantakan akibat Nisya yang tiba-tiba menarik kucir rambut muluk Kisya membuat rambut Kisya menjadi tergerai cantik.

"Astagfirullah! Heh! Lo tuh, ya---"

"Lah setan bisa istighfar ternyata. Baru tau gue," cibir Nisya tertawa melihat perubahan di raut wajah milik Kisya.

"Kena stroke gue lama-lama ngadepin jurig kayak lo!" Kisya memberenggut kesal, kedua bola matanya sudah menghunus begitu seram. 

"Aamiin ...," timpal Nisya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, seperti layaknya orang berdoa.

"Sesat emang gue punya kembaran setan kayak lo." Kisya menyerah, sampai dia berambut putih sekalipun, Nisya tetap tak akan memberikan uang bekalnya walau sepeser pun. 

Kisya beranjak pergi dari koridor, memilih kembali menghampiri teman-temannya yang masih menunggu di kantin. Sedangkan Nisya bersedekap dada, memandang nanar punggung sang adik yang kian hilang dari tangkapan matanya.

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang