36. Rumah Sakit

18 6 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Rumah Sakit

"Terluka adalah hal paling sulit untuk diterima."

Pihak sekolah dengan cepat langsung melarikan Kisya yang sudah tak sadarkan diri menuju rumah sakit terdekat. Mereka membawa Kisya menggunakan angkot yang tadi mengangkut rombongan SMP Antariksa ketika berwisata ke Museum Bandung. Di dalam angkot ada Nisya dan guru-guru lainnya yang ikut serta membawa Kisya ke rumah sakit. Saat ini Kisya benar-benar membutuhkan perawatan medis lantaran kondisi tubuhnya yang kian memburuk.

Dan sepertinya benar, hari ini adalah hari yang akan selalu Kisya ingat sampai kapan pun. Di mana liburan yang jauh-jauh hari menjadi dambaannya harus gagal akibat dirinya sendiri. Sungguh, kala tersadar nanti gadis itu pasti akan merasakan sedih hebat, karena bagi Kisya, kegagalan adalah hal paling sial di hidupnya.

Sampai di rumah sakit, Kisya langsung ditidurkan di atas brankar dan segera dilarikan menuju ruang IGD untuk mendapatkan pertolongan dokter. Aroma karbol begitu tercium pekat , serta bunyi alat-alat medis sangatlah terdengar meracuni indra pendengaran.

Nisya, si gadis berparas cantik itu sampai saat ini terus saja mondar-mandir sembari mengemut kukunya. Jantungnya berdesir kencang, sekujur tubuhnya pun merasakan getaran hebat memikirkan bagaimana nasib Kisya di dalam sana.

Tuhan, apa Kisya masih bisa selamat?

"Kis, lo yang kuat, ya, di dalem sana, please...," gumam Nisya menempelkan kepalanya pada kaca transparan di ruang IGD.

Hawa berubah menjadi dingin, seolah mempertegas kalau semesta pun ikut nestapa sama halnya dengan apa yang kini Nisya rasakan.

"Maafin gue, Kis. Gue belum bisa jadi kakak yang baik buat lo. Maafin gue," lirih Nisya menurunkan pandangannya, menatap sendu tetesan darah tercetak jelas di baju putih yang dikenakannya.

Percikan darah tersebut akan selalu Nisya ingat sampai kapan pun. Bahwa sesungguhnya manusia yang pernah ia anggap musuh, telah menumpahkan cairan merah pekat di dalam pangkuannya. Yang tanpa Nisya sadari, kalau air mata telah turun dari kedua bola mata sembabnya karena gadis itu.

"Nisya." Seseorang memanggil Nisya dengan pelan, membuat Nisya sontak mengangkat kepalanya.

Nisya tersenyum, mengusap wajahnya dengan kasar. "Iy-iya, Bu?"

"Kamu udah dapet kabar dari dokter?" tanya Bu Rani.

Nisya menggeleng lemas. "Belum, Bu."

Tatapan mata Bu Rani menyiratkan kalau beliau pun sama halnya bersedih seperti Nisya. "Kamu yang sabar, ya," ucap Bu Rani mengulas senyum pertamanya pada Nisya.

"Iya, Bu. Makasih, ya, ibu udah baik sama kita."

"Sama-sama," balas Bu Rani. "Oh, iya. Ibu juga udah kasih tau bunda kamu. Katanya sebentar lagi bakalan dateng ke sini."

Mendengar nama bunda, tubuh Nisya seketika mengeras seperti batu. Kedua bola matanya spontan membulat dengan sempurna. Meskipun benar Aqila harus tahu soal ini, tetapi entah kenapa keadaan ini justru membuat hati Nisya merasakan kepingan luka yang pernah Aqila berikan padanya kembali timbul secara perlahan.

Cewek itu memegangi dadanya yang terasa sesak, walaupun ia harus tetap tersenyum agar Bu Rani tidak berspekulasi yang bukan-bukan.

Suara jejak sepatu yang memijak di atas lantai tiba-tiba terdengar dengan jelas. Mata Nisya lagi-lagi mengeras, mengumpulkan keberaniannya, gadis itu kemudian membalikkan badan untuk menengok ke arah sumber suara. Biarpun dia tahu konsekuensi apa yang akan segera didapatkannya.

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang