HAPPY READING
.
.
."Jika cinta keluarga tak dapat kukejar, aku yakin cinta Tuhan dapat kugapai."
______________________________________Sakit yang Luar Biasa
"Gue liat-liat, lama-lama mukanya kayak Soimah, ya," celetuk Putri tersenyum memandang intens wajah seseorang saat dirinya tengah berjalan menuju kantin.
Dita sontak terpaku, binar matanya seketika kentara menunjukkan bahwa ia senang Putri memujinya seperti itu. "Ah, bisa aja lo, Put. Muka gue mah emang cantik, kok, dari dulu juga. Makasih, ya." Dita tersipu malu.
Kening Putri berkerut sempurna. "Dih, pede banget lo."
Mata Dita sedikit membulat. "Lah? Kan, tadi lo muji gue kayak Soimah katanya."
"Hah?!" Putri terdiam sejenak, sebelum akhirnya tawa gadis itu meledak-ledak di siang hari. "Hahahaha anjir! Hahahaha!! Ngakak, woi, anjir!! Hahaha! Sumpah, pede banget lo, ya, jadi orang."
"Orang gue muji adik kelas yang di belakang lo. Bukan lo kali. Hahahaha," sambung Putri masih dengan tawanya yang kian meledak.
Dita merenggut kesal, mengerucutkan bibirnya sambil mengumpat dan mendoakan semoga Putri cepat menghilang dari dunia ini. Bisa-bisanya Putri memuji yang justru membuat Dita seolah melambung ke langit ketujuh, tapi tiba-tiba terhempas membentur tanah.
Kedua langkah mereka akhirnya sampai di dalam kantin. Pandangan keduanya memencar, mencari tempat duduk kosong untuk mereka tempati. Setelah menimang di mana mereka akan duduk, Putri dan Dita pun mengambil alih kursi kosong yang ada di dekat kedainya Mang Bolot--penjual mi ayam yang dungunya enggak ketulungan.
"Putri ... Putri ... woi!" Dita mengibaskan tangannya di depan wajah Putri, membuat Putri yang sempat melamun seketika buyar kembali.
"Eh ...."
"Napa lo?"
Putri menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya, mengaduk mi ayam yang hanya ia tatap tanpa ia suapkan masuk ke dalam mulut. "Gue kangen Nisya," ungkapnya jujur.
Mendengar nama Nisya, Dita langsung tak tertarik pada obrolan ini. Perempuan itu fokus pada makanannya daripada harus mendengarkan cerita Nisya dari Putri untuk yang ke sekian kalinya. Dita masih menaruh dendam pada Nisya. Walaupun Nisya sudah tak ada, tapi dendam itu tak akan pernah menghilang sampai kapan pun.
"Basi," ketus Dita.
Putri mengangkat kepalanya. "Dit, lo kenapa, sih? Setiap kali gue sebut nama Nisya, pasti balesan lo basi. Dia itu sahabat lo, loh," nasihat Putri.
"Mantan sahabat yang jadi orang laknat!" tajam Dita tanpa mengalihkan sorot matanya dari mangkok yang mulai ludes tak tersisa.
"Udahlah, Dit, maafin aja. Lagian gue yakin, kok, bukan Nisya pelakunya. Tapi Fadil." Putri membujuk Dita untuk melupakan rasa geram itu.
Dita berdecih kasar. "Enggak usah sotoy lo, Put." Kepala Dita akhirnya terangkat. "Udah jelas-jelas di situ tertera Nisya pelakunya. Lo jangan dukung orang jahat, dong. Lo tuh harusnya dukung gue. Sampe sekarang gue masih sakit hati Nisya ngelakuin itu."
Putri menghela dalam, hening kembali menyelimuti tempat duduk mereka yang sepi tanpa percakapan. Putri kecewa pada Dita yang sampai saat ini masih menanam dendam pada Nisya yang notabenenya Nisya adalah sahabat yang setia. Tapi Putri pun tidak boleh terlalu memaksakan kehendaknya atas Dita. Sebab Putri tidak tahu bagaimana rasanya hidup tanpa kehadiran seorang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKISYA [END] ✓
Dla nastolatkówBersaing sama musuh❎ Bersaing sama kembaran sendiri✅ "Tidak ada kata menyerah sebelum ada yang kalah." Begitulah semboyan Inbreeding dalam kisah ini. Bagi dua gadis kembar bernama Nisya Raina Sahda dan Kisya Raiqana Sahida, persaingan serta pertarun...