51. Kenyataan Pahit

8 3 0
                                    

HAPPY READING
.
.
.

"Manusia tak bisa memaksakan kehendak Tuhan. Jika dipaksa bertahan akan lebih menyakitkan, dipaksa menyerah pun sangatlah menyesakkan."

"Maka, jalan satu-satunya untuk memulai kebahagiaan yang belum didapatkan yaitu dengan sebuah kematian."

---Nisya Raina Sahda
_

_____________________________________

Kenyataan Pahit

Jam pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung cukup menyenangkan. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Nisya yang sejak pagi tadi merasakan pusing hebat menyerang kepalanya. Konsentrasi belajarnya pun terpecah, antara harus fokus mendengarkan penerangan guru, tetapi juga sibuk menahan sakit yang rasanya kian berkecamuk merusak segala napas di tubuhnya.

Tidak kuasa menatap papan tulis terus-menerus, Nisya pun akhirnya menidurkan kepalanya di antara lipatan tangan yang ia taruh di atas meja. Bibir gadis itu tak pernah berhenti melafalkan kalimat istighfar, berharap Tuhan segera menolongnya dari situasi genting seperti ini. 

"Nisya!" seru Pak Wanto--guru Bahasa Indonesia yang mengajar di kelas Nisya. 

"Nisya!" seru Pak Wanto sekali lagi ketika Nisya tak merespons panggilannya. 

Pak Wanto berdecak, menghentikan penjelasan materinya lalu melangkah mendekati Nisya. Beliau mengguncang pelan tubuh Nisya, terkejut tatkala rasa dingin begitu terasa ke tangannya. Pak Wanto kemudian mengecek kening Nisya dengan punggung tangannya. Lagi-lagi dibuat tercengang kala rasa dingin tetap terasa ke tangannya. 

"Nisya, kamu sakit, Nak?" tanya Pak Wanto sambil mengusap surai Nisya yang banyak mengeluarkan keringat. 

"Saya ... enggak ... apa-apa, kok, Pak," sahut Nisya begitu pelan dengan suara patah-patah akibat deru napasnya yang terdengar memburu. 

Pak Wanto sontak membulatkan kelopak matanya. Sadar bahwa kondisi murid barunya itu dalam keadaan sakit, Pak Wanto pun dengan cepat segera menyuruh siswa lainnya untuk memanggil petugas UKS datang. 

"Nisya ... kita ke UKS, ya."

Nisya mengangkat kepalanya, netra gadis itu sudah mengerjap menahan nyeri. "Sa-saya ... pu-pulang ... a-aja, ya, Pak,"pinta Nisya sangat lemah.

"Baik. Nanti saya suruh satpam buat anterin kamu, pulang, ya," ujar Pak Wanto peduli. "Mari saya bantu!"sambungnya sembari membopong Nisya yang sudah tak mampu lagi untuk berdiri, apalagi berjalan. 

Selama dalam pangkuan Pak Wanto, Nisya menghalau bulir air matanya secara mati-matian. Bukan, bukan karena rasa sakit yang kian menggila. Tapi takut ia tak bisa memeluk dan memberi senyuman terakhirnya pada sang bunda. 

Bunda ... sakit ..., batin Nisya.

***

Dengan tertatih-tatih, Nisya mengetuk pintu rumahnya. Tak berselang lama, wajah keriput Bi Tini disambut geger oleh wajah pucat Nisya yang seolah kehilangan tenaga. 

"Ya ampun, Non!" seru Bi Tini histeris seraya menuntun Nisya untuk tertidur di atas sofa panjang tanpa banyak tanya.

"Non! Ya Allah, Non Nisya kenapa, Non?!" tanya Bi Tini panik. 

Nisya berusaha tersenyum. "Aku enggak apa-apa, Bi."

"Enggak apa-apa gimana?! Muka Non Nisya pucet, Non! Ya Allah!!" Bi Tini mengacak rambutnya frustrasi, kedua netranya berkaca-kaca tak tega melihat kondisi Nisya yang lemah bagaikan kertas yang tersiram air.

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang