46. Kehancuran Nisya

16 3 0
                                    

HAPPY READING

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAPPY READING
.
.
.

"Lebih baik dimarahin daripada didiemin."

"Aku benci ketika ingkarnya sebuah janji."

______________________________________

Kehancuran Nisya

Seorang gadis dengan rambut terikat seperti buntut kuda itu mengembuskan napasnya berat sambil termenung di teras lantai atas rumahnya. Hujan yang sempat mengguyur, telah reda dan membuat cuaca terasa dingin menembus pori-pori. Ada rindu yang tiba-tiba hadir di hati gadis itu, ketika tahu bahwa sang ayah sudah tak ada lagi di sisinya. 

Dita menurunkan pandangannya, mengusap lembut bingkai foto yang menunjukkan bagaimana sosok sang ayah yang belum pernah ia lihat sejak lahir. Senyuman kerinduan itu terukir, membuat kornea hitam Dita terasa memanas oleh dobrakan air mata.

"Gimana, sih, rasanya punya ayah? Gue juga mau," ucap Dita pelan. 

Dita rindu, Tuhan. 

"Ditaaaaaaaaa!!! Sayaaaaaaaangggg!! Ditaaa Saaaaayaaaanggg!! Oooohhhh Ditaaaaa!!"

Mata Dita sontak melebar, berdecak kesal karena momen berharganya di pagi hari harus terganggu oleh suara memekik itu. Terdengar decitan pintu, menampilkan sosok wanita paruh baya dengan badan seperti roda tronton membawa sebuah kotak berwarna ungu di tangannya.

Dita membalikkan badan, memasang raut wajah datar. "Mi, udah Dita bilang berapa kali. Nih rumah kena gempa bumi mami teriak-teriak mulu," protes Dita frustrasi.

"Oh, gitu, ya? Kok, mami baru tau, sih?" tanya mami mengetukkan telunjuknya di dagu. 

"Kenapa?"

"Nih, ada babang shopee dateng ngirim ini." Mami menyodorkan kotak itu pada Dita.

Dita menerimanya dengan alis bertaut. "Dari siapa, Mi? Kayak celengan masjid, ih." Ia meneliti tiap sudut kotak tersebut.

"Eh ... dibilangin dari babang shopee."

Dita berdecak, matanya meninggi menatap sang mami. "Maksud aku siapa pengirimnya?"

"Allahuakbar, Ditaaa! Mami udah bilang, dari babang shopee. Kamu napa jadi lola gini, sih, otaknya?!" sebal mami mendelik sinis. 

Keturunan gue, kok, bego-bego semua, ya? batin Dita memanyunkan bibirnya.

Dita lanjut memfokuskan tatapannya pada kotak itu, tak memedulikan mami yang sejak tadi mengoceh seperti sedang demo bersama mahasiswa. Kedua bola mata Dita seketika terbalalak begitu berhasil menemukan siapa pengirim kotak misterius ini. 

"Mi," panggil Dita.

"Ape?!" ketus mami memelotot.

"Mami keluar dulu gih. Masak gitu. Aku laper," dalih Dita agar maminya cepat keluar dari sini. 

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang