17. Menagih Janji

12 8 1
                                    

 "Persahabatan kita akan selalu terukir selama kita masih menaruh kepercayaan." –Nisya Raina Sahda


"Nih!" Kisya menaruh tumpukan buku tulis yang terbalut kertas cokelat itu dengan asal di atas meja Nisya. Nisya yang saat itu tengah mencoret-coret kertas lantas mendongak, mendapati Kisya tengah melipat tangannya di depan dada.

Kening Nisya berkerut sembari mengamati buku-buku itu yang tiba-tiba ada di mejanya. "Apaan nih?"

"Kakakku yang terhormat, gue langsung to the point aja, ya. Itu, tugas-tugas yang harus lo sama kurcaci lo kerjain. Usahain, sore ini selesai," tutur Kisya tersenyum seraya membelai pipi Nisya dengan jahil.

"Nyenyenye," cibir Nisya memanyunkan bibirnya saat Kisya sudah pergi. "Kikikki ying tirhirmit, gui lingsing ti thi piint aji, yi," tambahnya meniru ucapan Kisya.

Menyebalkan! Nisya memang sudah tahu kalau buku-buku itu adalah tugas yang harus dikerjakannya. Namun, apa salah jika pura-pura memuji agar perjanjian beberapa hari silam bisa ditarik? Jujur, Nisya paling sebal jika harus mengerjakan tugas. Mengerjakan tugasnya sendiri saja butuh bantuan google, apalagi jika bebannya berganda dengan tugas Victor.

Cewek itu mulai membuka lembaran demi lembaran yang tercantum di dalam buku. Matanya membulat saat hampir delapan halaman tugas yang harus timnya kerjakan.

Dua orang siswi yang memikul tas di bahunya itu datang memasang senyum manis di bibir. Dita dan Putri bertetanggaan, jadi hampir setiap hari Dita selalu nebeng bareng papahnya Putri.

"Halo woiii!!" sapa Dita heboh lalu menaruh tasnya di sebelah tempat duduk Nisya.

Dita menoleh sembari mengernyit, menatap raut wajah Nisya yang manyun. "Wih, bete banget lo, Bos, senyum napa. Masih pagi nih," ucap Dita mencubit pipi Nisya gemas, tapi malah ditepis kasar oleh temannya itu.

"Diem lo batre jam! Gue lagi pusing," ketus Nisya dengan mata melotot.

"HBD, Bos." Dita menepuk bahu Nisya tanpa dosa.

Nisya langsung mengalihkan tatapan mencekamnya pada Dita. "Ini nih, efek pas TK ngegambar burungnya kayak huruf M," ledek Nisya.

Putri yang mempunyai otak genius seketika mengerti apa yang tengah Nisya rasakan saat ini. Berbagai spekulasi terlintas di otaknya, tapi hanya satu spekulasi yang kini ia yakini itu adalah jawaban dari kondisi Nisya sekarang. Dia menghela napas berat sebelum mengeluarkan suaranya.

"Sini gue bantuin, Bos," tawar Putri mengambil dua buku sekaligus yang semula berada di tangan Nisya.

"Ya ampun, lo emang temen gue yang paling peka, Put," puji Nisya terenyuh sembari memeluk tubuh Putri dengan erat.

Dita yang melihat kedua sahabatnya berpelukan tanpa dirinya, lantas berdecak. "Gue enggak dipeluk nih?" sindir Dita risi. Ia membuang wajahnya seraya melipat tangan di depan dada.

Namun, berdetik-detik Dita menunggu, tak ada sepasang tubuh pun yang mendekapnya. Dia menduga setelah sindiran itu terlontar, Nisya dan Putri akan peka. Akan tetapi, kenyataannya tak sesuai harapan.

"Ya udah, deh. Gue mah cuman taplak meja ini," desis Dita ngambek.

"Emang," sambar Putri tertawa puas.

"Oke, mulai sekarang gue—" Ucapan Dita terhenti ketika badannya tiba-tiba terseret ke dalam sebuah dekapan. Dita tertegun mendapati semua ini. Ia pun mendongak, menemukan kedua sahabatnya tengah melukis senyum ketulusan padanya.

"Lo itu sahabat kita. Enggak mungkinlah kita ngelupain lo," kata Putri sambil mengusap punndak Dita.

"Yoi!" tambah Nisya mengandalkan kepala Dita untuk kepalanya bersandar. "Persahabatan kita akan selalu terlukis selama kita masih menaruh kepercayaan," lanjutnya.

NIKISYA [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang