Part 34

488 46 15
                                    

Assalamualaikum, happy reading:)

"Ikhlaskan!
Move on itu bukan soal melupakan yang lama, tapi menghilangkan rasa yang pernah ada. Mungkin, yang pergi itu cinta. Tapi yang akan datang, itu jodoh."

•Anonym•

Kini, Aina tengah terbaring lemah di kasur empuk miliknya. Saat di rumah sakit, ia memohon kepada dokter agar ia dirawat di rumah saja. Untung saja, dokter menyetujui. Asalkan, Aina berisitirahat yang cukup, makan teratur, dan rutin minum obat.

Sesuai permintaannya, Aina diantar oleh Naufal dan kedua sahabatnya yang lain. Sementara Rafael, ia masih berada di rumah sakit. Mungkin, pria itu menginap di sana. Sudahlah, Aina malas ambil pusing dengan itu semua. Ia sudah ikhlas. Meskipun masih sangat sulit.

Sementara Ara, Fathin dan Athifa belum bisa menjenguk Aina. Ini dikarenakan cuaca yang sangat tidak mendukung. Angin kencang, hujan yang begitu deras, dan banyaknya petir menyambar membuat mereka bertiga hanya bisa mendoakan Aina dari rumah masing-masing.

"Aina, makan dulu ya. Setelah itu, minum obat," ujar Ghina yang baru saja masuk dengan membawa semangkuk bubur dan air minum di tangannya.

Aina mengangguk. Ia merubah posisinya menjadi duduk. "Makasih banyak Bun. Maaf, merepotkan," lirih Aina setelah menerima semangkuk bubur itu.

Ghina tersenyum. Ia mengusap pelan kepala putrinya dengan lembut. "Sama-sama. Jangan pernah ucapkan itu lagi ya, kamu nggak pernah merepotkan."

Mata Aina berkaca-kaca. Ia hanya menunduk, tak mampu menatap mata Bundanya.

Sebagai seorang Ibu, tentu Ghina mengetahui apa yang anaknya rasakan. Karena, feeling seorang Ibu itu sangat kuat.

"Kenapa, hm? Masih kepikiran dengan Adnan?"

Sekali lagi, Aina mengangguk diiringi dengan air mata yang berjatuhan.

Ghina mengusap air mata putri kesayangannya. Setelah itu, ia berkata dengan lembut. "Udah ya, ikhlasin dia. Bunda yakin, Adnan udah tenang di alam sana. Berdoa yang banyak buat dia. Kalau kalian nggak bisa bertemu di dunia, in shaa Allah, kalian nanti akan bertemu di akhirat."

"Aamiin."

Begitulah Aina. Hatinya sangat lembut. Sekali kenal dengan seseorang, ia akan menyayanginya dengan tulus, meskipun tak pernah bertemu sekali pun.

"Makan gih, keburu dingin buburnya."

"Iya, Bunda."

Aina pun menyuapkan bubur sedikit demi sedikit hingga habis. Setelah itu, ia beralih meminum obat.

"Udah?"

"Udah, Bunda."

Ghina tersenyum singkat. Ia bangga terhadap putrinya itu. Aina, tumbuh menjadi seorang.anak yang berbakti kepada kedua orang tua, taat agama, dan selalu mengedepankan Allah dari apapun itu.

Aina adalah anak yang sangat penurut. Contoh terdekatnya saja, tadi. Dengan lahap Aina menghabiskan bubur buatannya, meskipun ia tau, bahwa Aina tidak berselera makan.

Sekali lagi, Ghina memperhatikan Aina secara detail. Ia rasa, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Aina.

"Kamu ada masalah?"

Aina langsung menatap Bundanya dengan heran.

"Hm?"

"Bunda tau, kalau kamu lagi ada masalah. Cerita aja, siapa tau Bunda bisa ngasih solusi."

AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang