Part 36

451 49 18
                                    

Assalamualaikum, happy reading:)

"Kamu tak tau, betapa terlukanya aamiin ku, ketika namamu ku hapus paksa dari doaku."

•Aina Anindya Qonita Putri•

Aina menatap pantulannya di depan cermin besar milikinya. Disana, terlihat jelas perubahan pada dirinya. Pipi yang biasanya mengembang, kini terlihat tirus. Wajah yang pucat, mata sayu, dan berat badannya yang semakin menurun.

Sebenarnya, Aina belum sepenuhnya sembuh. Tapi, ia terus membujuk Ghina dan Vino agar mengizinkannya untuk pergi ke sekolah. Terhitung empat hari ia terbaring lemas di atas kasur empuknya. Hal itu membuatnya jenuh. Ia kangen dengan sahabat-sahabatnya, suasana sekolah, dan kantin. Terlebih, sudah sangat banyak mata pelajarannya yang ia lalui karena sakitnya itu.

Aina menghela nafas panjang. Tatapannya beralih pada alat make-up di atas mejanya. Tangannya terulur untuk mengambil bedak. Ia pun memoles bedak baby pada wajahnya senatural mungkin. Setelah itu, tangannya terulur untuk mengambil liptint yang sangat jarang ia pakai. Ia pun kembali memolesnya pada bibirnya yang terlihat pucat

Setelah dirasa cukup, Aina mengambil tas, lalu turun ke bawah untuk sarapan.

"Assalamualaikum, selamat pagi, Ayah, Bunda!" sapa Aina ceria setelah sampai di depan meja makan.

Ia menarik kursi, lalu duduk.

"Wa'alaaikumussalam, pagi juga, kesayangan!"

Vino dan Ghina tersenyum hingga membuat mata mereka menyipit. Ada rasa bahagia tersendiri saat melihat putri kesayangannya bisa kembali ceria.

Aina melipat tangannya di atas meja. Ia menatap Vino dan Ghina bergantian. "Ciee, yang pagi-pagi udah berduaan," ledeknya sembari menunjuk ke arah keduanya dengan senyuman menggoda.

Vina dan Ghina terkekeh melihat tingkah putrinya itu. "Iya dong, pasangan halal gitu loh!"

Vino kemudian merangkul pundak Ghina agar lebih dekat dengannya. Tak lupa, tangan kanannya dengan setia menggenggam jari manis Ghina.

"Ayah, apaan sih! Malu sama Aina ih!" kata Ghina seraya berusaha melepaskan rangkulan Vino.

Aina terkekeh pelan melihat keharmonisan keluarganya. Ayah dan Bundanya selalu akur. Sangat jarang ada pertengkaran diantara mereka. Bahkan, Aina hampir tak pernah mendengar perdebatan diantara keduanya.

Ini terjadi, karena Vino yang selalu mengalah, dan Ghina yang sangat pengertian. Selain itu, saling mempercayai satu sama lain adalah kunci keharmonisan mereka berdua. Jika ada masalah, mereka selalu mendiskusikannya lalu sama-sama mencari jalan keluarnya.

Aina sangat bersyukur bisa terlahir di keluarga yang sangat harmonis dan kental agama ini. Ia berharap, semoga mereka selamanya bisa hidup bahagia dan harmonis seperti ini.

"Nggak usah malu, kali Bun. Kan, cuman Aina doang yang lihat. Udah halal juga," kata Aina.

Ia mengambil roti dan selai di atas meja. Setelah itu, ia memoleskan selai lalu melahapnya setelah selesai membaca doa makan.

Vino mengangguk menyetujui ucapan Aina.
"Tuh, udah halal."

"Tapi, Bunda malu ih," rengek Ghina. Demi apapun, ia sangat malu kepada Aina. Wajahnya kini sudah memerah lantaran malu.

"Nggak usah malu. Lagian,ini contoh biar Aina juga bisa lakukan ini sama suaminya nanti," canda Vino yang dihadiahi tatapan horor dari Ghina.

"Nggak usah ngasih contoh buat Aina. Dia pasti punya cara tersendiri nanti kalo udah nikah," bantah Ghina.

AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang