Assalamualaikum, happy reading:)
"Patah hati terberat adalah disaat kita berdoa kepada Allah bukan untuk MENYATUKAN, melainkan untuk MELUPAKAN."
•Aina Anindya Qonita Putri•
Saat ini, Aina dan keluarga besar berada di meja makan. Setelah acara kangen-kangenan saat di bandara, mereka memutuskan untuk pulang dan melanjutkannya di rumah.
"Abang kok pulang nggak bilang-bilang, sih?" tanya Aina kesal. Bibirnya sengaja dimanyun-manyunkan.
Andra terkekeh pelan. Ia menaruh sendok yang ada di tangan kanannya ke atas piring. Sementara tangan kirinya, terangkat untuk mengusap kepala Aina dengan lembut.
"Sengaja," ujarnya."Abang mah, nyebelin!" Aina memalingkan wajahnya ke samping kiri. Pura-pura ngambek.
"Eh kok ngambek sih?" tanya Andra sembari memiringkan kepalanya untuk menatap lebih jelas wajah Adik kesayangannya. "Padahal, Abang lakuin ini tuh, biar ada kejutan gitu buat kamu," lanjut Andra dengan nada yang begitu lembut.
Hati Aina langsung luluh dibuat Andra. Tutur kata yang begitu lembut, berhasil melunakkan hatinya. Rasanya ia tambah sayang dengan Abangnya.
Spontan, Aina menoleh ke sebelah kanan hingga membuat jarak antara keduanya begitu dekat.
Cup!
Andra mengecup sekilas hidung Aina.
Mata Aina terbelalak. Ia melirik ke arah Andra. Disana, ia mendapati Abangnya yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
"ABANG!" teriak Aina kesal.
Andra menutup telinganya menggunakan kedua tangannya. Hampir saja gendang telinganya pecah lantaran suara Aina yang begitu nyaring. Terlebih, Aina berteriak tepat di dekat telinganya.
"Apa sih Na, main teriak-teriak aja. Budek nih," jawab Andra sedikit kesal.
"Abang tuh, yang apa-apaan! Main cium-cium aja," gerutu Aina sembari membersihkan hidungnya menggunakan tissue.
"Emang salah?" tanya Andra tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Iyalah!" jawab Aina sedikit nyolot.
Andra menghela nafas pelan. Entah ia yang salah, atau Adiknya yang sensitif.
"Salah Abang apa?" tanya Andra berusaha bersabar menghadapi tingkah Aina yang memang sering berubah. Kadang manja, cerewet, ngambekan, penyayang, dan masih banyak lagi.
"Abang tuh, main cium nggak bilang-bilang. Abang kan, udah makan udang. Belum minum, mana mulutnya belum dibersihin pakai tissue lagi, eh langsung cium! Kan, hidung aku bau udang," jawab Aina panjang lebar.
Vino, Ghina dan Andra sama-sama terkekeh mendengar jawaban dari Aina. Ternyata, hanya karena masalah sepele, Aina sampai berteriak sekeras tadi. Ada-ada saja pikir mereka.
"Udah ah berantemnya. Makan dulu, kasihan tuh makanan dianggurin," titah Ghina seraya melirik makanan yang tersaji di atas meja.
"Iya Bunda," imbuh Aina dan Andra.
Beberapa detik kemudian, semuanya makan dengan khidmat. Hanya suara sendok yang terdengar kala menyentuh piring.
Setelah makan, mereka pun berkumpul di ruang keluarga. Vino dan Ghina duduk bersebelahan di satu sofa, sementara di depannya ada Aina dan Andra yang juga duduk bersebelahan.
"Bahagia banget deh, akhirnya kita bisa ngumpul seperti ini lagi," ucap Ghina bahagia. Bagaimana tidak, hal inilah yang ia dambakan sejak lama. Bisa berkumpul sekeluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aina
Ficção Adolescente"Ai, jangan dengerin mereka ya," ucap Rafael lembut sambil menatap pucuk kepala Aina. "Ai?" tanya Aina. "Iya. Nama lo kan Aina, jadi gue manggil lo dengan sebutan "Ai". Dan hanya gue yang boleh manggil dengan nama itu," tegas Rafael. "Iya. Terserah...