Assalamualaikum, happy reading!
"Aku masih disini, menunggu kedatangan mu yang belum pasti".
• Aldebaran Fathir Rafael
Semburat merah terpencar di langit. Burung-burung beterbangan menambah indahnya langit.
"Masya Allah," kagum seseorang yang tengah melihat keindahan ciptaan Allah.
Angin semilir menerpa wajahnya, membuat hatinya semakin sejuk. Ia memejamkan matanya, merasakan hembusan angin.
"Aina!"
Seseorang berjalan mendekat, lalu duduk disamping gadis tersebut.
"Dicariin daritadi, disini ternyata."
Aina terkekeh pelan. "Abisnya, Abang sibuk sama kak Hana di dalam. Jadi Aina keluar cari angin."
Rafandra sudah sembuh beberapa tahun yang lalu. Berkat pertolongan Allah, ia masih bisa menghirup udara segar seperti saat ini. Tanpa disangka pula, ia dipertemukan oleh Allah seorang wanita yang cantik dan sholeh. Ia pun memutuskan untuk ta'aruf dan menikah satu tahun yang lalu.
Sudah terhitung empat tahun lebih mereka di sini, London. Semua suka dan duka dilewati Aina di negara ini. Tanpa adanya komunikasi dari sahabatnya. Terutama Rafael.
Rafandra menatap Aina. Ia sangat bersyukur memiliki seorang adik yang begitu baik. Aina setia menemaninya disaat-saat kritis hingga adiknya itu rela pindah sekolah. Meninggalkan semua temannya.
Meskipun setiap hari dia melihat Aina tersenyum dan tertawa, tapi tak membuatnya benar-benar lega. Seringkali ia mendapati adiknya itu menangis setelah sholat. Mungkin rindu dengan kedua orang tuanya yang telah tiada, ataupun dengan temannya.
Rafandra juga beberapa kali mendengar Aina mengigau. Menyebut nama seorang pria. Mungkin, ada rasa rindu yang menggebu.
"Aina, kamu nggak kangen sama temen-temen yang di Jakarta?"
Aina menoleh, mendapati Rafandra yang tengah menatapnya.
Tak mendapatkan jawaban, Rafandra pun berkata lagi, "kamu nggak mau pulang?"
Aina beralih menatap indahnya senja. Ia menghela nafas pelan. Tak tau harus menjawab apa.
Aina tak membenci mereka yang menyakitinya. Ia bahkan sudah berlapang dada dan melupakan semua kejadian yang pernah terjadi. Ia tak pernah benci kepada Jihan, apalagi Rafael.
Kepergiannya ke London selain untuk kesembuhan Rafandra, juga untuk dirinya. Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri atas semua yang terjadi. Bukannya membenci keadaan, tapi dia hanya membutuhkan waktu untuk sendiri, melupakan semua rasa sakit dan kecewa.
*****
"Raf! Ngelamun aja lo," Naufal duduk disebelah Rafael. Mereka sedang bersantai ria di teras rumah Rafael.
"Haaah" Rafael menghela nafas.
Kedua tangannya diletakkan dibelakang, sebagai sandaran. Kepalanya menengadah ke atas. Menatap indahnya ciptaan Tuhan. Bintang-bintang yang bertabur diatas awan ditemani dengan bulan sabit menambah keindahan langit dimalam ini.
"Lo masih mikirin dia?"
"Tanpa bertanya pun, lo udah tau jawabannya," itulah yang diucapkan Rafael. Matanya masih tak lepas memandang bintang-bintang.
Sudah empat tahun berlalu. Selama itu pula, ia terus memikirkan Aina. Perasaan bersalah itu masih ada, bahkan semakin besar.
Segala cara telah dicoba Rafael untuk mencari keberadaan Aina, tapi tak ditemukannya. Semua sosial media Aina pun tak ia dapatkan. Wanita itu menghilang, tanpa memberi jejak sedikitpun kepada Rafael.
"Ai, gue masih nunggu disini," batin Rafael.
Semenjak kepergian Aina, Rafael lebih sering memandang langit. Entah itu awan, senja, bulan maupun bintang. Berharap, Aina juga melihat hal yang sama, meskipun ditempat yang berbeda. Setiap melihat langit, ada begitu banyak doa dan harapan yang ia langitkan. Berharap, sang pemilik langit mengabulkan doa-doa yang selama ini ia panjatkan.
Selain itu, setiap hari ia sempatkan untuk lewat di depan rumah Aina. Memastikan apakah yang punya rumah sudah ada atau belum. Rafael masih menunggu kedatangan Aina.
Naufal memukul pundak Rafael pelan. "Sabar Raf, dia pasti pulang. Aina janji bakal balik lagi".
Rafael mengangguk. Mungkin ini hukuman yang Aina berikan untuk dirinya. Pergi tanpa pamit, meninggalkan semua penyesalan yang sampai detik ini masih membekas.
"Fal, gimana kalau Aina nggak mau maafin gue?"
Akhirnya, segala unek-unek yang Rafael pendam selama empat tahun ini dikeluarkan juga. Mungkin, ia sudah tak tahan menanggungnya sendiri. Jujur, pertanyaan itu selalu terputar di kepala Rafael. Mengingat semua ucapan yang telah diucapkan di masa lalu, membuatnya jadi pesimis.
"Nggak mungkin. Aina tuh orangnya pemaaf." Naufal menatap Rafael meyakinkan.
Naufal yakin, Aina akan memaafkan Rafael. Meskipun mereka bersahabat tidak terlalu lama, tapi ia tau betul sifat Aina. Gadis berjilbab lebar itu sangat baik dan tak pernah menyimpan dendam pada siapapun.
Rafael mengulum bibirnya, lalu menghela nafas. Berharap, semoga yang dikatakan Naufal benar. Kalaupun Aina belum memaafkannya, ia akan berusaha untuk mendapatkan maaf dari Aina. Ya, itulah tekadnya.
*****
Suara adzan ashar terdengar samar-samar. Rafael yang berada di minimarket dekat kantornya buru-buru mengambil sebotol minuman dan beberapa bungkus bungkus roti lalu membayarnya.
Secepat kilat Rafael mengendarai mobilnya mencari masjid terdekat lalu melaksanakan sholat ashar berjamaah. Setelah sholat, doanya masih sama. Tak bosan-bosan ia meminta memohon pada Allah untuk mempertemukannya dengan dengan seorang gadis yang sangat ia rindukan.
Setelah berdoa, Rafael keluar dan berjalan di koridor masjid. Ia merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan dan basah karena berwudhu. Saat hendak memakai sepatunya, mata Rafael menangkap sosok yang tak asing baginya.
Rafael mengucek matanya. Takut salah lihat.
"Aina?"
Gadis yang mengenakan jilbab warna pink itu menoleh. Tatapan mereka bertemu.
Hai, apa kabar nih semuanya? Alhamdulillah udah bisa up lagi.
Kira-kira, yang dilihat Rafael beneran Aina bukan? Takut salah lihat karena rindu🤭Jangan lupa mampir ke cerita kedua ku ya, udah di publish kok. kali aja suka😅. Silahkan cek di akun ku🤍
See you next time 👋
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
KAMU SEDANG MEMBACA
Aina
Teen Fiction"Ai, jangan dengerin mereka ya," ucap Rafael lembut sambil menatap pucuk kepala Aina. "Ai?" tanya Aina. "Iya. Nama lo kan Aina, jadi gue manggil lo dengan sebutan "Ai". Dan hanya gue yang boleh manggil dengan nama itu," tegas Rafael. "Iya. Terserah...