Part 48

119 17 40
                                    

Assalamualaikum, happy reading:)

Disisi lain, Aina merasa bahagia. Bagaimana tidak, keharmonisan keluarganya mampu membuatnya melupakan masalahnya di sekolah, walaupun hanya sejenak.

Dibelakang Aina, terdapat ayah dan bundanya yang juga ikut tersenyum melihat kedekatan kedua anaknya itu.

"Semoga kedepannya, mereka bisa terus saling menjaga", tutur Ghina seraya menatap Andra yang tengah merangkul Aina.

Vino mengangguk. "Iya, Aamiin".

Setelah mendapatkan meja yang kosong, mereka lalu duduk dan memesan makanan. Aina duduk di samping Vino, sementara Andra duduk disamping Ghina.

Berselang beberapa menit, makanan yang mereka pesan akhirnya datang. Dengan lahap mereka memakannya.

"Yah, mendung", ucap Aina. Kepalanya menoleh ke sebelah kiri dan mendapati kaca transparan. Awan yang tadinya putih, perlahan menjadi gelap kelabu.

Andra juga ikut menoleh. Ia mengangguk menyetujui. "Padahal, barusan cuacanya bagus".

Cuaca akhir ini di kota Jakarta memang sulit diprediksi. Sudah masuk musim pancaroba.

"Yaudah, makan cepat gih, nanti kejebak hujan", sahut Vino.

"Pulang yuk. Udah mendung nih," ajak Andra. Ia membersihkan mulutnya menggunakan tissue. Mereka memang sudah selesai makan.

"Ayo", jawab mereka serentak.

Ditengah perjalanan, rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Aina menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya tertuju ke Rafael.

AINA ANINDYA QANITA PUTRI!" panggil Rafael dingin.

Aina menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang.

"Udah berapa cowok yang pernah tidur sama lo?" tanya Rafael dingin.

Ingatan itu kembali muncul. Sakit, hatinya terasa remuk. Mengapa Rafael tega mengucapkan kalimat seperti itu? Serendah itukah dirinya dimata Rafael?

"Gue harap, ini pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya."

Nafas Aina tercekat kala mengingat ucapan terakhir Rafael. Tanpa sadar, cairan bening berhasil jatuh dari pelupuk matanya. Dengan sigap ia menghapusnya agar tidak dilihat oleh Andra, kakaknya.

Aina mencoba mengatur nafasnya agar tidak menangis lagi. Ia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan hanya karena cinta yang belum halal.

Andra yang tadinya tengah memainkan ponselnya kini atensinya beralih ke adiknya.

"Kenapa?", tanya Andra lembut.

Tubuh Aina tersentak kaget. Ia menoleh ke kanan. "Hah? Kenapa apanya?" ucap Aina sedikit terbata.

Andra menatap mata Aina yang sedikit memerah. Ada kesedihan yang terpancar didalam sana. Ia menghela nafas sejenak. Rasanya sakit saat melihat adiknya sedih seperti ini. Tapi ia tidak berani bertanya. Pasti Aina butuh waktu untuk menceritakan semua masalahnya. Ya, dia akan menunggu sampai adiknya itu bercerita.

"Udah, jangan sedih lagi. Kita udah hampir sampai," kata Andra.

Aina mengangguk. "Iya".

Sesampainya di rumah, Aina memperbaiki jilbabnya yang sedikit kusut. Ia berlari kecil ke arah pintu. Hawa dingin menembus kulitnya.

"Assalamualaikum," salam Aina ketika hendak memasuki rumah, dan diikuti oleh yang lainnya.

"Wa'alaaikumussalam," jawab ART yang membuka pintu.

AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang