Assalamualaikum, happy reading:)
"Dulu, aku mengira mereka yang terlalu berlebihan dalam beragama. Tetapi setelah aku belajar, ternyata akulah yang terlalu cinta dengan dunia hingga melupakan kewajiban dan negeri akhirat."
• Adilina Fathin Ayudia & Khalisa Naura Athifa•
"Jika kamu memiliki sahabat yang selalu membantumu dalam ketaatan maka genggam erat tangannya, karena mencari sahabat taat itu sulit, sedangkan meninggalkannya itu mudah."
•Imam Syafi'i•
Aina berjalan melewati koridor yang sudah ramai dengan para murid SMA Pelita. Tak seperti biasanya, hari ini Aina berangkat sekolah agak telat. Ini sebabkan karena saat di rumah tadi, ia berusaha meyakinkan kedua orangtuanya bahwa ia baik-baik saja.
Memang, keadaannya sekarang sedikit lebih baik daripada yang kemarin. Garis bawahi, sedikit!
Wajahnya tak sepucat kemarin. Tubuhnya juga tidak selemah kemarin. Hanya saja, hatinya masih sangat lemah. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si Rafael!
Aina mendengus saat Rafael terlintas di fikirannya. Ia menggelengkan kepalanya guna menghilangkan nama dan bayangan samar-samar cowok itu saat kejadian kemarin.
"Assalamualaikum ukhti," terdengar salam dari beberapa siswi dan siswa yang ia lalui.
Aina tersenyum hangat, hingga lengkungan sabit terbit di wajahnya. "Wa'alaaikumussalam."
Aina menaiki tangga perlahan. Sebenarnya, ia tak boleh kelelahan dulu. Takut penyakit tipes nya kambuh lagi. Itulah sebabnya Ghina dan Vino bersikeras melarang Aina untuk tidak bersekolah. Hanya saja, Aina memohon kepada mereka untuk mengijinkannya. Alasannya sederhana, takut ketinggalan banyak mata pelajaran.
Saat sampai di ambang pintu, bibir Aina terbuka sedikit. Baru saja ia ingin mengucapkan salam, tapi ia urungkan saat melihat dua wanita yang memakai jilbab duduk di kursi Fathin dan Athifa. Sementara dibelakangnya, ada Ara yang sedang sibuk memainkan handphonenya.
Aina menyipitkan matanya. Tangan Aina pun terangkat untuk mengucek matanya.
Apakah ia salah lihat? Dengan langkah ragu, Aina berjalan mendekati dua wanita tersebut."Fathin? Athifa?" tanyanya tak yakin setelah sampai di depan wanita tersebut.
Wanita itu hanya mengangguk malu.
Aina masih tak percaya. Ia mengangkat pelan dagu Fathin untuk memastikan. Saat mata mereka bertubrukan, mata Aina langsung saja mengeluarkan cairan bening. Ia sangat bahagia melihat dua sahabatnya itu telah menggunakan jilbab.
"Kenapa nangis?" tanya Fathin. Ia berdiri, lalu mendekap tubuh Aina. "Jangan nangis lagi. Nanti cantiknya ilang."
Aina tak bisa menghentikan tangisannya. Tangannya terangkat untuk membalas dekapan Fathin. Demi Allah, ia sangat bahagia luar biasa saat melihat sahabatnya mulai hijrah.
Athifa dan Ara pun ikut berdiri, lalu mendekap dua sahabatnya. Air mata mereka juga berjatuhan. Ada rasa bahagia tersendiri yang mereka rasakan.
"Aku bahagia banget, lihat kalian menggunakan jilbab," kata Aina tulus.
"Alhamdulillah, kita dapat hidayah," jawab Athifa. Ia melirik sekilas ke arah Ara. "Ini berkat pencerahan dari Ara."
"Dan ilmu dari lo," sambung Fathin.
"Terimakasih banyak atas ilmunya," ujar Fathin, Ara dan Athifa.
Aina mengangguk. "Terimakasih kembali, karena telah menjalankan Sunnah Rasulullah dan syariat Islam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aina
Teen Fiction"Ai, jangan dengerin mereka ya," ucap Rafael lembut sambil menatap pucuk kepala Aina. "Ai?" tanya Aina. "Iya. Nama lo kan Aina, jadi gue manggil lo dengan sebutan "Ai". Dan hanya gue yang boleh manggil dengan nama itu," tegas Rafael. "Iya. Terserah...