Part 51

91 13 5
                                    

Assalamualaikum, happy reading!

"Jaga lisanmu. Jangan sampai engkau menyesal di kemudian hari karena salah berucap. Ucapan adalah doa, yang akan menjadi kenyataan suatu hari nanti".

•Author

Hari demi hari terus berjalan dengan cepat. Semua kembali pada aktivitas masing-masing. Tak ada lagi seorang pun yang menghina dan mencaci maki seperti kejadian dua Minggu lalu. Ya, nama baik gadis berjilbab itu telah bersih. Tapi, meninggalkan kenangan dan penyesalan bagi mereka yang menyakitinya.

Rafael berjalan melewati koridor yang sudah mulai ramai. Hari ini adalah hari terakhir dilaksanakannya UTS. Tak ada senyuman maupun semangat pada pria tinggi itu.

"Aina belum datang?"

Itulah kata pertama yang Rafael ucapkan setibanya di kelas. Tak ada yang menjawab. Hanya helaan nafas yang terdengar.

Semua menunggu kedatangan Aina. Bahkan, tak ada lagi canda tawa yang dilontarkan oleh Athifa, Fathin dan Ara. Perasaan bersalah itu terus muncul di benak mereka. Perasaan rindu, dan penyesalan berkecamuk.

Sementara Rafael, dia seperti mayat hidup di sekolah. Hanya duduk melamun sembari menatap kursi Aina yang kosong. Berharap, kursi itu segera diduduki oleh pemiliknya.

Rafael berjalan ke arah Naufal. Dadanya sesak, saat melihat sahabatnya itu hanya diam. Ia teringat betapa gigihnya ketiga sahabatnya melindungi Aina. Sementara dirinya, hanya pengecut yang menyakiti dan melukai perasaan Aina.

Ia berjongkok, menatap lamat wajah Naufal dari bawah. Masih ada amarah dan kebencian dari wajah itu. Hubungan persahabatan mereka memang belum membaik. Semuanya hanya diam, sambil menunggu kedatangan Aina.

"Fal..." panggil Rafael. Suaranya sudah bergetar.

"Aina udah pergi ya?"

Cairan bening lolos begitu saja di pelupuk mata Rafael. Sesak rasanya menanyakan itu. Ia menghapus air matanya pelan.

"UTS udah hampir selesai. Tapi Aina belum datang juga. Tolong telepon dia Fal..."

Naufal mendongak, menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia juga merasakan sakit yang sama. Ia juga sama seperti yang lain. Menunggu kedatangan Aina.

"Fal, please telepon Aina..." Sekuat mungkin Rafael menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. Namun sayang, itu semua diluar kendalinya.

Naufal menyeka air matanya. Ia membantu Rafael bangkit, lalu menuntunnya duduk di kursinya.

"Raf, gue juga sama kayak lo. Berkali-kali gue hubungin Aina, tapi nomornya nggak aktif."

Naufal menyesal membiarkan Aina pergi keluar negeri tanpa ada yang menemani. Kini, Aina menghilang tanpa jejak. Tanpa ada yang tau dimana keberadaannya. Bagaimana kabar gadis itu? Akankah ia bertahan disana dengan keadaan yang seburuk ini? Bagaimana jika ia menyerah? Itulah yang dipikirkannya setiap hari.

Rafael tertunduk, menatap layar handphone yang menampilkan room chatnya dengan Aina. Ada banyak pesan yang ia kirim, tapi semuanya centang satu.

"Ai, kamu dimana? Kamu baik-baik aja kan disana? Kita semua nungguin kamu disini. Kenapa nggak datang juga?" batin Rafael.

Kevin menatap nanar bahu Rafael. Terlihat jelas penyesalan yang menggerogoti hati sahabatnya itu. Ia juga merasa kecewa, karena Aina tak kunjung datang. Mengingat senyum Aina di rumah sakit kala itu, membuat hatinya sakit. Tidak seharusnya ia membiarkan Aina pergi disaat paling rapuh. "Na, Kamu janji bakal datang," lirihnya.

"Vin..." tatapan Rafael kini beralih pada Kevin.

Semua ucapan yang dia ucapkan terus terngiang-ngiang di kepalanya. Hal itu sukses membuat rasa bersalahnya semakin besar. "Gue harap, ini pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya." Kini, ia sangat menyesal pernah mengucapkan kalimat itu.

"Raf," lirih Kevin. Percayalah ia sangat tidak tega melihat pria yang menatapnya seperti sekarang. Tatapan penuh penyesalan dan putus asa.

"Aina beneran ngabulin ucapan gue?" Ucapnya pelan. "Bilangin ke dia, gue tarik ucapan itu. Suruh dia pulang Vin.." Rafael menyatukan kedua tangannya, memohon pada Kevin.

Kevin memalingkan wajahnya. Tak sanggup melihat Rafael. Matanya sudah merah sejak tadi.

"Daniel.."

Daniel diam, menunggu ucapan yang akan diucapkan Rafael.

"Niel, gue tau, gue salah. Tapi please, suruh Aina pulang Niel."

Hancur sudah. Rafael menangis tersedu-sedu. Ia tak peduli dengan penampilannya saat ini. Ia pun tak peduli mengenai orang-orang yang melihatnya menangis. Hanya satu harapannya, Aina kembali lagi.

*****

Adzan dhuhur berkumandang. Kini, berakhirlah UTS. Semua siswa lega dan banyak pula yang merasa sedih karena khawatir dengan nilainya. Tapi tidak dengan Rafael. Ia sedih bukan karena nilainya turun, tapi karena tidak datangnya seseorang yang ia tunggu-tunggu. Aina.

Beberapa Minggu sejak kepergian Aina, kondisi Rafael semakin kacau. Ia bahkan sering melalaikan sholat.

Rafael menenteng sepatunya. Ditatapnya kubah yang menjulang tinggi dan megah diatas sana. Sudah lama ia tak kesini lagi.

Diambilnya whudu, lalu ikut melaksanakan sholat dhuhur berjamaah.

Setelah salam dan berdzikir, Rafael mengangkat kedua tangannya berdoa, dan meminta kepada sang pencipta.

"Ya Allah ya Rabb, sungguh cobaan yang engkau berikan sangat berat. Mohon mampukan hamba.."

"Ya Allah, Aina pergi dengan segudang luka. Sedangkan hamba adalah salah satu penyebab luka terbesarnya. Dia sudah pergi ya Rabb, hamba belum minta maaf kepadanya," Rafael menangis, mengadu pada penciptanya.

"Mohon kembalikan Aina kesini lagi." Rafael menutup doanya, lalu menghapus air matanya.

Dilihatnya sekeliling masjid, tak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Dulu, ia dan yang lain sangat sering sholat berjamaah disini. Bersama Aina tentunya. Namun, tak ada lagi wanita itu.

Rafael sangat mengingat, saat pertama kali ia sholat disini. Aina yang menuntunnya, hingga membuatnya hijrah.

"Ai, gue kangen".

Assalamualaikum, akhirnya bisa up lagi. Kira-kira, berapa part lagi ya menuju ending? Hahahaha, see you next part 👋




AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang