Assalamualaikum, happy reading:)
"Percayalah, melihat orang yang kita cintai lebih dekat dan akrab dengan sahabat sendiri itu rasanya menyakitkan!"
•Adilina Fathin Ayudia•
•Zahra Atalie Ratifa•
•Khalisa Naura Athifa•Fathin dan Athifa ikut berjongkok lalu ikut mendekap tubuh Aina yang masih bergetar.
"Udah Na. Jangan nangis lagi," ucap Athifa iba. Matanya pun ikut berkaca-kaca. Ia pun sangat tidak percaya jika Rafael akan melakukan hal seperti tadi.
Fathin menghapus air mata Aina dengan lembut. "Jangan nangis lagi ya. Masih ada kita yang percaya sama lo."
"Iya Na. Please, jangan nangis lagi. Kesehatan lo udah memburuk. Kalau lo nangis terus, nanti tambah sakit," tambah Ara.
"Hati aku lebih sakit," lirih Aina seraya memukul pelan dadanya yang terasa sesak.
Wajah Aina sudah pucat pasih. Badannya pun semakin melemah disertai dengan keringat yang terus keluar melalui pori-pori kulitnya. Memang, diare dan sembelitnya sudah mulai berhenti. Tapi rasa lemah, tidak nafsu makan, terus mengeluarkan keringat serta muntah masih sering terjadi padanya.
Seperti saat ini, rasanya ia sudah ingin memuntahkan isi perutnya. Inilah salah satu yang menyebabkan berat badannya semakin menurun. Ditambah lagi, asam lambungnya tinggi.
Aina membekap mulutnya. Sekuat tenaga ia bangkit, lalu jalan tertatih keluar kelas.
"Na, lo mau kemana?" tanya Ara khawatir. Ia membantu Aina berjalan untuk menjaga keseimbangan wanita itu.
"T-toilet," jawab Aina pelan.
Athifa dan Fathin pun ikut membantu Aina. Mereka tau, pasti Aina ingin mengeluarkan isi perutnya. Sudah beberapa kali mereka melihat Aina keluar masuk WC selama ia sakit.
Sesampainya di toilet, Aina segera ke wastafel lalu memuntahkan semuanya. Fathin, ia memijit leher Aina bagian belakang. Ara membantu mengikat jilbab Aina ke belakang agar tidak terkena muntahan dan air. Sementara Athifa, ia berlari ke kantin untuk membeli air mineral.
Setelah berkumur-kumur, Aina mengambil tissue lalu membersihkan bibirnya.
"Na, lo nggak papa?" tanya Fathin khawatir. Pasalnya, wajah Aina sangat pucat. Seperti tak ada aliran darah disana.
Aina membalasnya dengan gelengan kecil. Ia sudah tak mempunyai tenaga walau hanya berbicara. Dadanya terasa sakit efek muntah tadi. Kepalanya pun menjadi pusing.
"Na, lo cuci muka dulu ya," tawar Ara. Aina pun mengangguk.
Fathin membantu Aina membuka jilbabnya. Setelah terbuka, Aina pun segera membilas wajahnya. Air yang dingin membuat tulangnya serasa ngilu.
Tok tok tok!
Terdengar suara ketukan dari luar.
"Siapa? tanya Ara.
"Ini gue, Athifa."
Fathin pun langsung membuka pintu, mempersilahkan Athifa masuk.
"Nih, minum dulu," ujar Athifa seraya menyodorkan air mineral kepada Aina.
Aina menerimanya. "Makasih banyak ya. Maaf, kalau aku udah repotin kalian."
"Lo nggak ngerepotin kita kok," balas Athifa sambil tersenyum tulus.
Aina pun membalasnya dengan senyuman tipis. Setelah membuka penutup botol, Aina langsung saja meneguknya hingga tersisa setengah.
"Udah?" tanya Athifa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aina
Подростковая литература"Ai, jangan dengerin mereka ya," ucap Rafael lembut sambil menatap pucuk kepala Aina. "Ai?" tanya Aina. "Iya. Nama lo kan Aina, jadi gue manggil lo dengan sebutan "Ai". Dan hanya gue yang boleh manggil dengan nama itu," tegas Rafael. "Iya. Terserah...