Part 49

73 11 8
                                    

Assalamualaikum, happy reading!

"Tidak ada manusia yang baik-baik saja ketika kehilangan. Yang ada, hanyalah mereka yang berpura-pura tegar dan kuat untuk menutupi kesedihannya"

"Ayah... bunda...", lirih Aina. Tubuhnya terjatuh di lantai. Dunianya benar-benar hancur sekarang. Orang yang paling disayanginya pergi untuk selama-lamanya dalam waktu yang bersamaan.

Naufal mendekat, mencoba menenangkan Aina. Ia memegang pundak Aina yang berguncang hebat. Air matanya ikut jatuh. Didekapnya tubuh itu dari belakang. "Yang sabar Na".

Kevin berjongkok menatap perih Aina. Air matanya pun mengalir dengan deras.  Ia memeluk lutut dengan kepala yang tertunduk. "Allah, rencana indah apa yang telah engkau siapkan untuk Aina? Mengapa cobaan mu begitu berat" batinnya. Jujur saja, jika dirinya menjadi Aina, mungkin ia tidak akan sanggup menjalani semua ini.

Sementara itu, Daniel bersandar pada pintu. Tubuhnya ikut gemetar karena Isak tangis yang ia pendam. Perlahan, tubuhnya merosot ke bawah.

"Ayah dan bunda, Fal." Aina menatap Naufal seolah berkata ini cuman mimpi kan? Etensinya beralih menatap tubuh yang terbaring kaku di samping kiri dan kanannya.

Naufal mengeraskan pelukannya. Ia pun sangat tak sanggup menatap mata Aina.  "Ikhlasin Na." Entah mengapa kalimat itu terucap begitu saja. Padahal, perihal mengikhlaskan sangat sulit bagi semua orang.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun". Aina memegang tangan Naufal yang melingkar di lehernya lalu terisak. Benar kata Naufal. Ia harus mencoba untuk mengikhlaskan kedua orang tuanya. Bagaimana pun, ini adalah ketetapan yang telah dituliskan Allah ribuan tahun lalu.

Kevin dan Daniel mencoba bangkit, mereka berdua berjalan mendekat. Berusaha terlihat tegar didepan Aina. Jika bukan mereka yang menguatkan, lalu siapa lagi? Tidak ada lagi yang dipunya Aina selain mereka dan Rafandra, kakaknya. Itupun, ia kini masih kritis.

Naufal melepas dekapannya saat merasa ada pergerakan dari Aina. Sepertinya, wanita itu hendak berdiri.

"Mau kemana?"

Aina tak menjawabnya. Ia bangkit, lalu kembali membuka kain kafan yang menutupi tubuh Ghina. Ia sadar, mungkin hari ini adalah hari terakhirnya melihat wajah bidadarinya.  Diperhatikannya secara rinci, wajah Ghina sangat damai, seperti sedang tertidur. Satu hal yang baru Aina sadari, bundanya tengah tersenyum.

"Selamat beristirahat, bunda pasti bahagia telah berjumpa dengan Allah," bisik Aina. "Tunggu Aina dan Abang, semoga kita dipertemukan kembali di surganya."

*****

Setelah sholat Ashar, Aina berjalan dengan rombongan yang terus mengucapkan tahmid menuju pemakaman. Ditangan kanan dan kirinya terdapat foto Ghina dan Vino yang sedang tersenyum bahagia.

Dibelakang, terdapat Naufal, Daniel dan Kevin yang senantiasa mendampingi Aina. Mereka sengaja tak memberitahukan kepada teman yang lain mengenai kabar duka ini. Mereka bertiga terlalu sibuk membantu mengurus pemakaman, sehingga tidak sempat membuka ponsel walau hanya memberitahu yang lain. Termasuk Rafael.

Aina memegang gundukan tanah yang masih basah disertai bunga yang baru saja ditabur. Kini, tinggallah dirinya dan tiga pria yang berada di samping kiri dan kanannya.

"Ayah, bunda, yang tenang disana. Maafin Aina atas semua kesalahan yang udah aku perbuat." Ucap Aina disela-sela Isak tangis nya.

Kini, tak ada lagi yang membangunnya jika telat bangun. Tak ada lagi yang membuatkan masakan kesukaannya, tak ada lagi yang memberinya nasehat, tak ada lagi pelukan hangat dari Vino dan Ghina, dan tak ada lagi canda tawa dari mereka.

AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang