Part 38

478 47 26
                                    

Assalamualaikum, happy reading:)
4700+ Kata meluncuuuuuur!

"Jika aku hanya dijadikan seperti wakaf .‘. .‘. ataupun seperti huruf  ن ketika bertemu huruf ل, lebih baik, sekalian aja seperti huruf ف pada surah Al-fatihah."

•Anonym•

Aina diam tertunduk. Setelah menghela nafas, Aina mengangkat kepalanya lalu berkata dengan sangat lirih. Bahkan, Rafael pun tak dapat mendengarnya, "kamu nggak tau gimana rasanya berada di posisi aku, Rafa."

"Ai, beri aku waktu! Aku nggak bisa kalau kamu tiba-tiba menjauh seperti ini," ucap Rafael penuh harap.

Manik matanya memancarkan harapan yang begitu besar. Ada kekosongan dalam hatinya saat ini. Terasa begitu menyakitkan saat orang yang kita sayangi menjauh.

Ia rasa, kehilangan Aina jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan Jihan beberapa tahun yang lalu. Ia akui, rasa cintanya terhadap Aina jauh lebih besar daripada Jihan. Ia brengsek? Memang! Ia sendiri pun tak tau mengapa dirinya begitu brengsek sehingga dengan mudahnya ia melukai dua hati secara bersamaan.

Mencintai dua orang sekaligus adalah suatu hal yang ia sendiri tak menginginkannya. Tapi, rasa itu tumbuh begitu saja seiring berjalannya waktu.

Sementara Aina, matanya sudah berkaca-kaca. Ia juga masih mencintai Rafael, masih menyayanginya, dan takut kehilangannya. Mau sebesar apapun rasa bencinya terhadap pria itu, nyatanya masih ada setitik rasa di dalam hatinya.

Percayalah, sangat sulit berada di posisi seperti ini. Disaat hati sudah merasakan kenyamanan terhadap seseorang dan ingin memilikinya, tapi semua hanya bisa ditahan dan dipendam karena sudah tau jika itu haram dalam Islam jika belum ada ikatan yang halal.

"Rafa, aku punya permintaan sama kamu. Tolong, turutin permintaan aku," mohon Aina diiringi dengan air mata yang menetes.

"Menjauh?" cela Rafael. Ia menggeleng kuat. "Kalau itu, aku nggak bisa lakuin!"

Aina menggeleng pelan. "Bukan itu."

"Terus, apa?"

"Benci aku," cicit Aina. Cairan bening berhasil lolos kembali di pelupuk matanya. Tepat saat mengatakan itu, rasa sakit dan sesak di dadanya begitu kuat. Hingga sulit untuk dirinya walau hanya menarik nafas yang dalam.

Rafael menunduk. Ia melihat lantai di bawah yang berwarna putih. Disana, ada beberapa tetesan cairan bening yang jatuh dekat sepatunya. Ia sadar, air tetesan itu adalah air matanya yang jatuh tanpa bisa dicegah.

"Kenapa Ai? Kenapa aku harus membenci kamu?" ucap Rafael sangat lirih.

Aina juga menunduk. Dengan suara bergetar, ia berkata, "cuman itu satu-satunya cara biar kita bisa menjauh."

Rafael mendongak. "Ai, kalau kamu mau menjauh, jangan minta aku buat membenci. Karena aku nggak bisa lakuin itu," ujar Rafael.

Ia menengok ke sebelah kanan. Setelah itu, tangannya dengan cepat menghapus sisa air matanya. Takut Aina melihat air mata itu. Walaupun sebenarnya, Aina sudah melihatnya dari awal.

"Kamu yakin aja dengan takdir Allah. Jika Allah berkehendak buat kita menjauh, maka seberapa keras aku berusaha buat mendekat, itu akan sia-sia," lanjut Rafael.

Aina berfikir sejenak. Benar juga kata Rafael. Ia seharusnya yakin dengan takdir Allah. Mau sekuat apapun ia menjauh, tapi jika Allah belum berkehendak, maka semuanya akan percuma. Jadi, ia hanya perlu mengikuti alur.

Yang ia tanamkan dalam hatinya sekarang adalah, membuat hatinya lebih yakin lagi tentang janji Allah. Bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan.

AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang