Assalamualaikum, happy reading:)
"Ucapan itu seperti obat. Dosis kecilnya bisa menyembuhkan, tapi jika berlebihan bisa membunuh."
•Ali bin Abi Thalib•
"Ai?" lirih Rafael.Aina menyimpan pisau yang ditangannya ke atas tanah. Dengan susah payah ia bangkit dari duduknya. Tangannya bergetar hebat dan air matanya pun berjatuhan dengan deras.
"Rafa, ak-aku bisa jelasin," ucap Aina terbata-bata. "Ini nggak seperti yang kalian lihat," sambungnya.
Ia maju selangkah. Sementara Jihan, ia membekap mulutnya. Cairan bening terus jatuh membasahi pipinya. Baru saja ia ingin bersahabat dengan Aina, tapi justru wanita itu melukai Maminya.
"Jangan mendekat!" cegah Jihan. Tatapannya yang tadi sendu, kini berubah menjadi tajam dan penuh kebencian.
Aina menggeleng. Ia terus maju diiringi air mata yang berjatuhan. Baru saja ia ingin menyentuh tangan Jihan dan menjelaskan kejadiannya, Jihan langsung mendorongnya hingga ia terjatuh di atas tanah.
Bruk!
Aina jatuh tersungkur. Telapak tangannya mengeluarkan darah segar karena terkena pisau yang tergeletak di atas tanah tadi.
"Aww." Aina meringis pelan. Dilihatnya telapak tangannya yang terus mengeluarkan darah. Rasa perih menjalar di tangannya, dan rasa pusing semakin membuatnya tak mampu berdiri lagi. Ia sangat lemah sekarang.
"Gue bilang jangan mendekat! Dasar pem-bu-nuh!" bentak Jihan dengan menekan kalimat paling terakhir.
"Aku bukan pembunuh! Kalian cuman salah paham," bela Aina pada dirinya sendiri. Ia berusaha keras untuk bangkit lagi. Namun, sakit di kepalanya tak bisa ia tahan. Hingga, ia hanya bisa terduduk lemah dengan isakan pelan.
Hatinya terasa sakit saat ia dibilang pembunuh. Padahal, ia hanya ingin menolong wanita paruh baya tadi dari gangguan preman. Tapi, Jihan dan Rafael datang disaat tidak tepat. Mereka hanya melihat kejadian sekarang tanpa tau bagaimana kronologi yang sesungguhnya.
"Salah paham gimana? Gue lihat semua kejadiannya!" pekik Jihan. Ia maju berniat untuk menampar Aina. Tapi, dengan sigap Rafael menahan tubuhnya.
Jihan mendongak untuk melihat Rafael. Rafael hanya menggeleng, lalu berkata, "mending, sekarang kita bawa Mami ke rumah sakit." Cuman ini satu-satunya cara agar Jihan tidak melukai Aina.
Akhirnya, Jihan setuju. Mau bagaimanapun, keselamatan Maminya yang paling utama untuk saat ini. Urusan Aina, ia bisa mengaturnya belakangan.
Ia pun langsung berlari ke arah Maminya, disusul Rafael. "Mami, bangun!" ucap Jihan seraya menepuk pelan pipi Sinta- Maminya.
Rafael mendekat, lalu menggendong Sinta ala bridal style. Sebelum itu, Rafael terlebih dahulu mengikat perut Sinta menggunakan kain bajunya yang ia sobek agar pendarahannya segera berhenti.
Saat Jihan hendak melewati Aina yang masih terduduk lemah, ia berjongkok dihadapan Aina. "Tunggu pembalasan gue!" jeda sekian detik, iapun kembali berkata, "lo tau? Gue benci banget sama lo. Lo udah rebut Fathir dari gue, rebut tiga sahabat gue, dan sekarang, lo mau bunuh Mami gue?"
Jihan menoleh ke sebelah kanan. Ia menghapus air matanya yang kembali jatuh. Hatinya sangat sakit saat mengingat Aina merebut semua orang yang ia sayangi secara perlahan.
Aina menggeleng keras. Tangisannya semakin pecah saat mendengar penuturan Jihan. Sejahat itukah dirinya? Ia bahkan tak mempunyai niat sedikitpun untuk merebut Rafael dan ketiga sahabatnya dari Jihan. Dan apa tadi, membunuh? Bahkan membunuh ulat kaki seribu yang ada di rumahnya pun, ia tak tega. Apalagi membunuh manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aina
Teen Fiction"Ai, jangan dengerin mereka ya," ucap Rafael lembut sambil menatap pucuk kepala Aina. "Ai?" tanya Aina. "Iya. Nama lo kan Aina, jadi gue manggil lo dengan sebutan "Ai". Dan hanya gue yang boleh manggil dengan nama itu," tegas Rafael. "Iya. Terserah...