Part 50

71 12 5
                                    

Assalamualaikum, happy reading!!

"Minta maaf bukan berarti kita rendah. Bukan hal yang mudah juga, karena harus menurunkan ego dan gengsi. Tapi percayalah, setelah minta maaf akan ada ketenangan didalam hati."

Rafael berjalan memasuki kelas seperti biasa. Hari ini ia datang agak siang, karena terlambat bangun. Ya, semalam matanya baru bisa terpejam sekitar pukul dua dini hari.

"Pagiii"

Rafael tak menggubris sapa Jihan. Ia benar-benar tak mood setelah kejadian kemarin. Dia masih memikirkan Aina.

"Kamu kenapa sih?" tanya Jihan. Kesal, karena Rafael tak kunjung menjawabnya.

Rafael melempar tasnya pelan di atas meja, lalu duduk di tempat duduknya. Diperhatikannya kelas ini, hampir semua siswa sudah masuk kelas, kecuali empat orang. Aina, Naufal, Kevin dan Daniel.

"Hufh" Rafael menghela nafas kasar. Tangan kanannya digunakan untuk menopang dagu. Menatap kursi kosong milik Aina. Beberapa menit kemudian, terdengar suara yang menggunakan mikrofon sehingga seluruh penjuru sekolah dapat mendengarnya.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Kemarin siang,  telah berpulang ke Rahmatullah ayah dan Ibu saudari kita, Aina Anindya Qonita  Putri. Kami selaku seluruh jejeran perangkat OSIS mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya,"

Deg

Rafael menegakkan badannya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

"Raf, itu nggak bener kan?" suara Fathin bergetar. Matanya memanas.

Kelas menjadi ribut. Seluruh siswa saling bertanya mengenai kabar tersebut.

"Raf!"

Rafael tersentak mendengar teriakan Fathin. Ia juga sama sepertinya, sama-sama tak percaya. Makanya ia tak tahu harus jawab apa.

Rafael berdiri lalu berlari ke sumber suara. Ingin menanyakan secara langsung kepada Raka, ketua OSIS.

"Raka!"

Raka yang sedang berada di koridor depan kantor langsung menoleh ketika namanya dipanggil Rafael.

"Yang lo ucapkan tadi nggak bener kan?" Rafael bertanya dengan penuh harap, semoga Raka hanya berbohong.

Raka menggeleng. Matanya pun sedikit merah. "Lo nggak tau?"

Bukan jawaban ini yang diharapkan Rafael. Dadanya kembang kempis, memikirkan kemungkinan apa yang terjadi.

"Barusan, Naufal nelpon gue. Katanya orang tua Aina meninggal kemarin."

Rafael menghapus air matanya kasar. Ia pergi, dengan perasaan yang begitu kecewa. Mengapa ia baru tau hari ini?

"Lo mau kemana?"

Lagi-lagi Rafael tak menjawabnya. Bibirnya kelu, pikirannya sangat kacau sekarang. Ia hanya ingin cepat-cepat bertemu Aina.

"Aina udah nggak ada dirumahnya!"

Tapi sayang, teriakan Raka tak didengar oleh Rafael. Orang itu telah menghilang dari pandangannya.

Rafael memberhentikan taksi, lalu buru-buru ke rumah Aina. Sepanjang jalan, ia hanya menatap ke jendela dengan perasaan yang berkecamuk.
"Kamu pasti kuat Ai," gumamnya disela tangisnya.

Mobil yang ditumpangi Rafael pun berhenti. Masih ada bendera kuning disana.

"Assalamualaikum, Aina!" teriak Rafael saat sudah memasuki gerbang rumah. Sepi, seperti tak ada yang sedang berduka disini.

AinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang